Kamis, 12 Juli 2012

PRODUKSI DALAM ISLAM

BAB I Pendahuluan A.Latar Belakang Sesuai kodratnya manusia tidak mungkin menghindarkan diri dari kegiatan konsumsi dan produksi. Demi eksistensi dan kenyamanan hidupnya, manusia memerlukan banyak barang dan jasa. Sementara barang yang tersedia secara langsung untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup manusia itu sangat terbatas, baik menyangkut jumlah, ragam maupun kualitasnya. Dari sinilah kemudian manusia terpanggil untuk melakukan kegiatan produksi. Mengelola berbagai sumber daya yang ada dengan mengubahnya untuk membuat atau menghasilkan sesuatu, demi memenuhi kebutuhan hidupnya yang terus meningkat dan bervariasi seiring dengan dinamika peradaban. Dengan demikian maka persoalan yang menjadi urgen adalah:Apakah makna dari produksi itu? Bagaimana Pandangan Islam tentang konsep produksi? Inilah pertanyaan-pertanyaan yang seharusnya selalu mengiringi perjalanan hidup manusia dalam berproduksi agar Hal ini sesuai dengan tanggung jawab pribadi dan sosial yang diembannya. Pemahaman terhadap persoalan ini diharapkan dapat mengantarkan manusia pada nilai hidup yang lebih bermartabat, proporsional, berkeadilan, juga terhindarkan dari ancaman murka Allah SWT. Banyak aspek yang terkait antara produksi yang perlu diperhatikan agar tujuan produksi ini dapat maksimal dan tetap dalam koridor ridha Allah. Islam sendiri telah memiliki pedoman bagaimana manusia itu harus melakukan proses produksi. Pelanggaran terhadap ketentuan ini dapat berakibat negatif bahkan fatal bagi kehidupan manusia. Semoga makalah yang berjudul ‘’Konsep Produksi dalam Ekonomi Islam’’ ini mampu memberi tambahan pencerahan pada pemerhati ekonomi Islam. B. Fokus Masalah 1. Pengertian Produksi 2. Tujuan Produksi 3. Faktor Produksi 4. Prinsif- Prinsif Produksi BAB II Pembahasan A. Pengertian Produksi Dr. Muhammad Rawwas Qalahji memberikan kata “produksi” dalam bahasa Arab dengan kata al-intaj yang secara harfiyah dimaknai dengan ijadu sil’atin (mewujudkan atau mengadakan sesuatu). Produksi menurut Kahf mendefinisikan kegiatan produksi dalam perspektif islam sebagai usaha manusia untuk memperbaiki tidak hanya kondisi fisik materialnya, tetapi juga moralitas, sebagai sarana untuk mencapai tujuan hidup sebagaimana digariskan dalam agama islam, yaitu kebahagiaan dunia dan akhirat. Dari dua pengertian diatas produksi dimaksudkan untuk mewujudkan suatu barang dan jasa yang digunakan tidak hanya untuk kebutuhan fisik tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan non fisik, dalam artian yang lain produksi dimaksudkan untuk menciptakan mashlahah bukan hanya menciptakan materi. B. Tujuan Produksi Dalam konsep ekonomi konvensional (kapitalis) produksi dimaksudkan untuk memperoleh laba sebesar besarnya, berbeda dengan tujuan produksi dalam ekonomi islam, tujuan produksi dalam islam yaitu memberikan Mashlahah yang maksimum bagi konsumen. Di samping itu, menurut Islam tujuan produksi secara umum adalah untuk mencapai fallah (kebahagiaan, kesejahteraan) hakiki yaitu: 1. Memenuhi kewajiban sebagai khalifah di bumi, beribadah kepada Allah dan untuk menjalankan fungsi sosial. 2. Untuk memenuhi kebutuhan hidup pribadi dan keluarga. 3. Sarana untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan barang dan jasa secara umum. 4. Sebagai persediaan untuk generasi yang akan datang. Walaupun dalam ekonomi islam tujuan utamannya adalah memaksimalkan mashlahah, memperoleh laba tidaklah dilarang selama berada dalam bingkai tujuan dan hukum islam. Dalam konsep mashlahah dirumuskan dengan keuntungan ditambah dengan berkah. Keuntungan bagi seorang produsen biasannya adalah laba (profit), yang diperoleh setelah dikurangi oleh faktor-faktor produksi. Sedangkan berkah berwujud segala hal yang memberikan kebaikan dan manfaat bagi produsen sendiri dan manusia secara keseluruhan. Keberkahan ini dapat dicapai jika produsen menerapkan prinsip dan nilai islam dalam kegiatan produksinnya. Dalam upaya mencari berkah dalam jangka pendek akan menurunkan keuntungan (karena adannya biaya berkah), tetapi dalam jangka panjang kemungkinan justru akan meningkatkan keuntungan, kerena meningkatnya permintaan . Berkah merupakan komponen penting dalam mashlahah. Oleh karena itu, bagaimanapun dan seperti apapun pengklasifikasiannya, berkah harus dimasukkan dalam input produksi, sebab berkah mempunyai nyata dalam membentuk output. Berkah yang dimasukkan dalam input produksi meliputi bahan baku yang dipergunakan untuk proses produksi harus memiliki kebaikan dan manfaat baik dimasa sekarang maupun dimasa mendatang. Penggunaan bahan baku yang ilegal (tanpa izin) baik itu dari hasil illegal logging, maupun penggunaan bahan baku yang tanpa batas dalam penggunaannya dalam jangka waktu pendek mungkin akan memiliki nilai manfaat yang baik(pendistribusian baik), tetapi dalam jangka waktu panjang akan menimbulkan masalah. Sebagai contoh penggunaan bahan baku dari ilegal logging dalam jangka panjang akan menimbulkan berbagai bencana, dan akan memberikan nilai mudharat kepada para penerus atau generasi selanjutnya. C. Faktor – Faktor Produksi Menurut Yusuf Qardawi, faktor produksi yang utama menurutu Al Quran adalah alam dan kerja manusia. Fungsi manusia adalah sebagai khalifah di bumi. Khalifah ini diberi amanah oleh Allah untuk memakmurkan bumi. Produksi merupakan perpaduan harmonis antara alam dengan manusia. Sesuai dengan Firman Allah dalam Al Quran suarh Huud:61. “Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya, karna itu mohonlah ampunan_Nya, kemudian bertaubatlah kepadan_Nya, sesungguhnya Tuhanku amat dekat (rahmat_Nya) lagi memperkenankan (doa hamba_Nya).” (QS:Huud:61) Produksi tidak akan dapat dilakukan kalau tidak ada bahan-bahan yang memungkinkan dilakukannya proses produksi itu sendiri. Untuk bisa melakukan produksi, orang memerlukan tenaga manusia, sumber-sumber alam, modal dalam segala bentuknya, serta kecakapan. Jadi, semua unsur yang menopang usaha penciptaan nilai atau usaha memperbesar nilai barang disebut sebagai faktor-faktor produksi. Seorang produsen dalam menghasilkan suatu produk harus mengetahui jenis atau macam-macam dari faktor produksi. Macam faktor produksi secara teori terbagi menjadi empat, yaitu sebagai berikut: a. Tanah Hal yang dimaksud dengan istilah land atau tanah di sini bukanlah sekedar tanah untuk ditanami atau untuk ditinggali saja, tetapi termasuk pula di dalamnya segala sumber daya alam (natural resources). Dengan demikian, istilah tanah atau land ini maksudnya adalah segala sesuatu yang bisa menjadi factor produksi berasal dan atau tersedia di ala mini tanpa usaha manusia, yang antara lain meliputi: 1. Tenaga penumbuh yang ada di dalam tanah, baik untuk pertanian, perikanan, maupun pertambangan. 2. Tenaga air, baik untuk pengairan maupun pelayaran. Termasuk juga di sini adalah air yang dipakai sebagai bahan pokok oleh Perusahaan Air Minum. 3. Ikan dan mineral, baik ikan dan mineral darat (sungai, danau, tambak, dan sebagainya) maupun ikan dan mineral laut. 4. Tanah yang di atasnya didirikan bangunan. 5. Living stock, seperti ternak dan binatang-binatang lain yang bukan ternak. 6. Dan lain-lain, seperti bebatuan dan kayu-kayu b. Tenaga kerja Dalam ilmu ekonomi yang dimaksud dengan istilah tenaga kerja manusia (labor) bukanlah semata-mata kekuatan manusia untuk mencangkul, menggergaji, bertukang, dan segala kegiatan fisik lainnya, akan tetapi lebih luas lagi yaitu human resources (sumber daya manusia). Di dalam istilah human resources atau SDM itu tercakuplah tidak saja tenaga fisik atau tenaga jasmani manusia tetapi juga kemampuan mental atau kemampuan nonfisiknya, tidak saja tenaga terdidik tetapi juga tenaga yang tidak terdidik, tidak saja tenaga yang terampil tetapi juga yang tidak terampil. Pendek kata, di dalam istilah atau pengertian human resources itu terkumpullah semua atribut atau kemampuan manusiawi yang dapat disumbangkan untuk memungkinkan dilakukannya proses produksi barang dan jasa. c. Modal Modal (capital) yaitu meliputi semua jenis barang yang dibuat untuk menunjang kegiatan produksi barang-barang lain serta jasa-jasa. Termasuk ke dalam bilangan barang-barang modal misalnya mesin-mesin, pabrik-pabrik, jalan-jalan raya, pembangkit tenaga listrik, gudang serta semua peralatannya. Modal juga mencakup arti uang yang tersedia di dalam perusahaan untuk membeli mesin-mesin, serta faktor-faktor produksi lainnya. d. Kecakapan Tata Laksana (Manajemen) Kecakapan (skiil) yang menjadi faktor produksi keempat ini disebut juga deangan sebutan entrepreneurship. Entrepreneurship ini merupakan faktor produksi yang intangible (tidak dapat diraba), tetapi sekalipun demikian peranannya justru amat menentukan. Seorang entrepreneurship mengorganisir ketiga faktor produksi lainnya agar dapat dicapai hasil yang terbaik. Ia pun menanggung resiko untuk setiap jatuh bangun usahanya. Tidak pelak lagi bahwa faktor produksi yang keempat ini adalah yang terpenting di antara semua faktor produksi. Memang ia tidak bisa dilihat, tetapi setiap orang mengetahui dan merasakan bahwa ia, entrepreneurship atau managerial skill itu, adalah amat penting peranannya sehubungannya dengan yang dihasilkan. Keempat faktor produksi yang telah disebutkan di atas, adalah unsur-unsur yang harus bekerja demi terlaksananya proses produksi. Apabila keempatnya adalah kita misalkan makhluk-makhluk yang dapat berpikir dan merasa, keempatnya adalah tanah, tenaga manusia, modal, dan tata laksana semuanya itu akan minta dan menuntut balas jasa atas hasil kerjanya. Kepada faktor produksi tanah dibayarkan sewa (rent). Untuk tenaga manusia (labor) dikenal tiga jenis pembayaran balas jasa, yaitu upah (wage), gaji (salary), dan royalty. Untuk modal dibayarkan bunga (interest) dan deviden. D. Prinsif – Prinsif Produksi Prinsip-prinsp produksi secara singkat adalah pedoman yang harus diperhatikan, ditaati, dan dilakukan ketika akan berproduksi. Prinsip-prinsip produksi dalam Islam, diantaranya adalah sebagai berikut: a. Berproduksi dalam lingkaran halal Yang dimaksud makanan halalan thayyiban adalah makanan yang boleh untuk dikonsumsi secara syariat dan baik bagi tubuh secara kesehatan ( medis). Makanan dikatakan halal paling tidak harus memenuhi tiga kriteria, yaitu halal zatnya, halal cara perolehannya, dan halal cara pengolehannya. Makanan yang halal zatnya adalah makanan yang pada dasarnya halal dikonsumsi karena tidak ada dalil yang melarangnya. Makanan yang halal diperoleh, yaitu makanan yang perolehannya secara sah yang dibenarkan oleh syariat. Makanan yang halal pengolahannya, yaitu makanan yang pengolahannya tidak berlawanan dengan syariat dan mengandung kriteria baik , yaitu mengandung gizi dan vitamin (Djakfar, 2009: 194-197) Dalam ajaran (hukum) Islam, halal dan haram merupakan persoalan sangat penting dan dipandang sebagai inti keberagaman karena setiap muslim yang akan melakukan atau menggunakan, terlebih lagi mengkonsumsi sesuatu sangat dituntun oleh agama untuk memastikan terlebih dahulu kehalalan dan keharamannya. Jika halal, boleh (halal) melakukan, mengunakan atau mengkonsumsinya demikian pula sebalikya. Kata Halalan, menurut bahasa Arab berasal dari kata, halla yang berarti lepas atau tidak terikat. Secara etimologi kata Halalan berarti hal-hal yang boleh dan dapat dilakukan karena bebas atau tidak terikat dengan ketentuan-ketentuan yang melarangnya. Dapat juga diartikan sebagai segala sesuatu yang bebas dari bahaya duniawi dan ukhrawi. Menurut ajaran Islam, mengkonsumsi yang halal, suci, dan baik merupakan perintah agama dan hukumnya adalah wajib Dalam mengkonsumsi makanan (atau harta), kita jelas harus mengikuti aturan yang telah ditentukan syariat . Diantara aturan ini adalah sebagaimana yang termaktub dalam QS. Al Baqoroh (2: 168) Artinya: Hai sekalian manusia ,makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi ,dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan , karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu. Prinsip produksi yang wajib dilaksanakan oleh setiap muslim, baik individu maupun komunitas adalah berpegang pada semua yang dihalalkan Allah dan tidak melewati batas. Pada dasarnya, produsen pada ekonomi konvensional tidak mengenal istilah halal dan haram. Yang menjadi prioritas kerja mereka adalah memenuhi keinginan pribadi dengan mengumpulkan laba, harta, dan uang. Tidak mementingkan apakah yang diproduksinya itu bermanfaat atau berbahaya, baik atau buruk, etis atau tidak etis. Adapun sikap seorang muslim sangat bertolak belakang. Ia tidak boleh menanam apa apa yang diharamkan, seperti poppy yang diperoleh dari buah opium, demikian pula cannabis atau heroin. Seorang muslim tidak boleh menanam segala jenis tumbuhan yang membahayakan manusia, seperti tembakau yang menurut keterangan WHO, sains, dan hasil riset berbahaya bagi manusia. Selain dilarang menanam tanaman-tanaman yang berbahaya bagi manusia, sorang muslim juga dilarang memproduksi barang-barang haram, baik haram dikenakan maupun haram dikoleksi. Misalnya membuat patung atau cawan dari bahan emas dan perak, dan membuat gelang emas untuk laki laki. Syariat juga melarang memproduksi produk yang merusak akidah, etika, dan moral manusia, seperti produk yang berhubungan dengan pornografi dan sadisme, baik dalam opera, film, dan musik. Fungsi Standarisasi Halal Persoalan kehalalan sebuah produk merupakan persoalan yang pelik dan tidak dapat dipandang mudah. Ia memerlukan kajian laboratorium yang mendalam untuk memastikan bahan baku, proses pembuatan, media bahkan hingga kemasannya. Oleh karena itu, diperlukan adanya standarisasi halal. Standarisasi halal ini memiliki fungsi untuk memberikan kepastian, perlindungan, dan ketenangan konsumen, terutama umat Islam, dari mengkonsumsi suatu produk yang haram. Hal ini merupakan salah satu hak konsumen yang dilindungi dalam Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Salah satunya adalah pada pasal 4 (a) disebutkan bahwa hak konsumen adalah hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan atau jasa. Pasal ini menunjukkan bahwa setiap konsumen, termasuk konsumen muslim yang merupakan mayoritas konsumen di Indonesia, berhak untuk mendapatkan barang yang nyaman dikonsumsi olehnya. Salah satu pengertian nyaman bagi konsumen muslim adalah bahwa barang tersebut tidak bertentangan dengan kaidah agamanya, alias halal. Selanjutnya, dalam pasal yang sama point (c) disebutkan bahwa konsumen juga berhak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan atau jasa. Hal ini memberikan pengertian bahwa keterangan halal yang diberikan oleh perusahaan haruslah benar, atau telah teruji terlebih dahulu. Dengan demikian, perusahaan tidak dapat serta merta mengklaim bahwa produknya halal, sebelum melalui pengujian kehalalan yang telah ditentukan. Standarisasi produk halal juga sangat dibutuhkan oleh para produsen untuk menarik minat konsumen Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Ia juga penting untuk meningkatkan daya saing serta untuk kebutuhan ekspor, terutama untuk tujuan negara-negara muslim. Wujud dari standarisasi halal bagi produsen adalah ia harus memiliki sertifikat halal. Namun, disini terdapat permasalahan dalam pembuatan sertifikat halal. Yang mana para produsen merasa diberatkan dengan biaya yang harus dikeluarkan untuk memperoleh sertifikat tersebut. Selain itu, hal tersebut menimbulkan terhambatnya pertumbuhan investasi di industri makanan, terutama bagi usaha skala kecil dan menengah (UKM). b. Keadilan dalam berproduksi Beberapa makna keadilan, antara lain: Pertama, adil berarti sama. Sama berarti tidak membedakan seseorang dengan yang lain. Persamaan yang dimaksud dalam konteks ini adalah persamaan hak. Allah SWT berfirman: “Apabila kamu memutuskan perkara di antara manusia, maka hendaklah engkau memutuskannya dengan adil...... (Surah An Nisaa'/4:58). Manusia memang tidak seharusnya dibeda bedakan satu sama lain berdasarkan latar belakangnya. Kaya-papa, laki-puteri, pejabat-rakyat, dan sebagainya, harus diposisikan setara. Kedua, adil berarti seimbang Allah SWT berfirman: Wahai manusia, apakah yang memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu Yang Maha Pemurah? Yang menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu, dan mengadilkan kamu (menjadikan susunan tubuhmu seimbang). (Surah al-Infitar/82: 6-7). Seandainya ada salah satu anggota tubuh kita berlebih atau berkurang dari kadar atau syarat yang seharusnya, pasti tidak akan terjadi keseimbangan (keadilan). Ketiga, adil berarti perhatian terhadap hak hak individu dan memberikan hak hak itu pada setiap pemiliknya. Adil dalam hal ini bisa didefinisikan sebagai wadh al-syai’ fi mahallihi (menempatkan sesuatu pada tempatnya). Lawannya adalah zalim, yaitu wadh’ al-syai’ fi ghairi mahallihi (menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya). “Sungguh merusak permainan catur, jika menempatkan gajah di tempat raja,” ujar pepatah. Pengertian keadilan seperti ini akan melahirkan keadilan sosial. Keempat, adil yang dinisbatkan pada Ilahi. Semua wujud tidak memiliki hak atas Allah SWT. Keadilan Ilahi merupakan rahmat dan kebaikan-Nya. Keadilan-Nya mengandung konsekuensi bahwa rahmat Allah SWT tidak tertahan untuk diperoleh sejauh makhluk itu dapat meraihnya. Allah disebut qaiman bilqisth (yang menegakkan keadilan) (Surah Ali ‘Imram/3: 18). Allah SWT berfirman: Dan Tuhanmu tidak berlaku aniaya kepada hamba-hamba-Nya (Surah Fushshilat/41:46). Keadilan ekonomi: Islam tidak menghendaki adanya ketimpangan ekonomi antara satu orang dengan yang lainnya. Karena itu, (antara lain) monopoli (al-ihtikar) atau apapun istilahnya, sama sekali tidak bisa dibenarkan. Nabi Muhammad Saw bersabda: Tidak menimbun barang kecuali orang-orang yang berdosa. (HR. Muslim). Orang yang bekerja itu diberi rizki, sedang orang yang menimbun itu diberi laknat. (HR. Ibnu Majah). Siapa saja yang menyembunyikan (gandum atau barang-barang keperluan lainnya dengan mengurangi takaran dan menaikkan harganya), maka dia termasuk orang- orang yang zalim. Larangan demikian juga ditemukan dalam al-Qur’an. Allah SWT berfirman: Apa saja harta rampasan (fay’) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota kota maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya di antara kalian saja. Apa saja yang Rasul berikan kepada kalian, terimalah. Apa saja yang Dia larang atas kalian, tinggalkanlah. Bertakwalah kalian kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya. (Suratal-Hasyr/59:7). Umar bin al-Khattab (khalifah Islam ke-2) pernah mengumumkan pada seluruh kawulanya, bahwa menimbun barang dagangan itu tidak sah dan haram. Menurut riwayat Ibnu Majah, Umar berkata: Orang yang membawa hasil panen ke kota kita akan dilimpahkan kekayaan yang berlimpah dan orang yang menimbunnya akan dilaknat. Jika ada orang yang menimbun hasil panen atau barang-barang kebutuhan lainnya sementara makhluk Tuhan (manusia) memerlukannya, maka pemerintah dapat menjual hasil panennya dengan paksa. Dalam kaca mata Umar, pemerintah wajib turun tangan untuk menegakkan keadilan ekonomi. Sehingga ketika ada oknum oknum tertentu melakukan monopoli, sehingga banyak pihak yang terugikan secara ekonomi, pemerintah tidak bisa tinggal diam apalagi malah ikut menjadi bagian di dalamnya. Mebiarkan dan atau menyetujui perbuatan mereka sama halnya berbuat kezaliman itu sendiri. Sistem ekonomi Islam telah memberikan keadilan dan persamaan prinsip produksi sesuai kemampuan masing-masing tanpa menindas orang lain atau menghancurkan masyarakat. Kitab suci Al Quran memperbolehkan kerjasama yang saling menguntungkan dengan jujur, sederajat, dan memberikan keuntungan bagi kedua pihak dan tidak membenarkan cara-cara yang hanya menguntungkan seseorang, lebih-lebih yang dapat mendatangkan kerugian pada orang lain atau keuntungan yang diperoleh ternyata merugikan kepentingan umum. Setiap orang dinasihatkan berhubungan secara jujur dan teratur serta menahan diri dari hubungan yang tidak jujur sebagaimana tersebut dalam QS An Nisa’: 29 “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”. Ayat di atas melarang cara mendapatkan kekayaan dengan cara yang tidak adil dan memperingatkan akan akibat buruk yang ditimbulkan oleh perbuatan-perbuatan yang tidak adil. Jika seseorang mencari dan mendapatkan kekayaan dengan cara yang tidak benar ia tidak hanya merusak usaha dirinya, tetapi akan menciptakan kondisi yang tidak harmonis di pasar yang pada akhirnya akan menghancurkan usaha orang lain. Selain itu dalam QS Ar Rahman: 9 “Dan Tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu.” Ayat di atas menjelaskan bahwa tiap orang Islam hendaknya jujur dalam setiap tindakan, sebagaimana timbangan yang tepat ketika berjualan dan dalam semua kegiatan yang berkenaan dengan orang lain. Orang Islam tidak boleh tertipu daya karena contoh kualitas yang baik, lalu menjual barang-barang yang rendah mutunya atau mengurangi timbangan. Karena pada dasarnya perbuatan tidak adil dan salah akan merusak sistem ekonomi dan akhirnya akan menghancurkan keseluruhan system sosial. Dengan demikian, Al Quran menyetujui nilai-nilai yang mulia dalam persamaan hak, keadilan, kooperasi, dan pengorbanan dalam rangka mereorganisasikan lingkungan sosio-ekonomi masyarakat Islam. Kata ‘adl (عَدْل) dalam berbagai bentuknya terulang sebanyak 28 kali di dalam al-Quran. Kata ‘adl sendiri disebutkan 13 kali, Kata ‘adl di dalam al-Quran memiliki aspek dan objek yang beragam, begitu pula pelakunya. Keragaman tersebut mengakibatkan keragaman makna ‘adl (keadilan). Kata adil dalam Alquran mempunyai arti yang beragam dan mencakup pengertian dan bidang yang berbeda. Beberapa makna keadilan dalam Alquran adalah persamaan dalam hak, mencakup sikap dan perlakuan hakim pada saat proses pengambilan keputusan, berada di pertengahan dan mempersamakan, seimbang, perhatian terhadap hak individu dan memberikan hak itu kepada setiap pemiliknya. BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Produksi adalah menciptakan manfaat dan bukan menciptakan materi. Maksudnya adalah bahwa manusia mengolah materi itu untuk mencukupi berbagai kebutuhannya, sehingga materi itu mempunyai kemanfaatan. Apa yang bisa dilakukan manusia dalam “memproduksi” tidak sampai pada merubah substansi benda. Yang dapat dilakukan manusia berkisar pada misalnya mengambilnya dari tempat yang asli dan mengeluarkan atau mengeksploitasi (ekstraktif). Dalam konsep ekonomi konvensional (kapitalis) produksi dimaksudkan untuk memperoleh laba sebesar besarnya, berbeda dengan tujuan produksi dalam ekonomi konvensional, tujuan produksi dalam islam yaitu memberikan Mashlahah yang maksimum bagi konsumen. Walaupun dalam ekonomi islam tujuan utamannya adalah memaksimalkan mashlahah, memperoleh laba tidaklah dilarang selama berada dalam bingkai tujuan dan hukum islam. Dalam konsep mashlahah dirumuskan dengan keuntungan ditambah dengan berkah. Daftar Pustaka 1. 2. Ali Hasan. Meneguh Kembali Konsep Produksi Dalam Ekonomi Islam 3. Bambang Rudito & Melia Famiola, 2007. Etika Bisnis dan Tanggung Jawab Sosial Indonesia 4. Hermant Laura Pincus, 1998. Perspective in Business Ethics, Irvin McGraw Hill Khaerul. Produksi dan Konsumsi Dala Al Qur’an, 5. Khatimah Husnul , Teori Produksi Islam, Kafe Syariah.net 6. M.A. Mannan, “The Behaviour of The Firm and Its Objective in an Islamic Framework”, 7. http://makalahmajannaii.blogspot.com/2012/02/keadilan-dalam-alquran.html 8. http://www.qothrotulfalah.com/indeks-artikel-santri/281-keadilan-dalam-islam-.html 9. http://khairuddinuad.wordpress.com/keagamaan/sehat-islami-pilih-yang-halal-sekaligus-thayyib/ 10. http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2012/03/13/makna-standarisasi-halal/ 11. http://agustianto.niriah.com/2008/10/04/etika-produksidalam-islam/Aziz Bu