Selasa, 12 Juni 2012
Mudzarra'ah Mukhobarah
PEMBAHASAN
MUZAARA’AH DAN MUKHAABARAH
A. Pengertian Muzaara’ah dan Mukhaabarah
Secara etimologi, Muzaara’ah berarti kerjasama di bidang pertanian antara pemilik lahan dengan petani penggarap dengan benih dari dari pihak pemilik tanah. Pembagian hasilnya menurut kesepakatan kedua belah pihak.
Sedangkan Mukhaabarah adalah kerjasama antara pemilik sawah atau ladang dengan penggarap dan benihnya dari pihak penggarap (petani). Pembagian hasil menurut kesepakatan kedua belah pihak secara adil.
Sedangkan dalam terminologi fiqh terdapat beberapa definisi muzaara’ah yang dikemukankan oleh ulama fiqh.
Ulama mazhab Maliki mendefinisikan muzaara’ah:
اَلشِّركَةُ فِي الزَّرْعِ
“perserikatan dalam pertanian”
Menurut ulama Mazhab Hanbali:
دَفْعُ الأرض إِلَى مَنْ يَزْرَعُهَا أَوْيَعْمَلُ عَلَيْهَا وَالزَّرْ عُ بَيْنَهُمَا
“Penyerahan tanah kepada orang yang akan bercocok tanam atau mengelolanya, sedangkan tanaman (hasilnya) tersebut dibagi di antar keduanya”
Menurut ulama Syafi’i membedakan antara Muzaara’ah dan Mukhaabarah:
اَلْمُخَابَرَةُهِيَ عَمَلُ الْاَرْضِ بِبَعْضِ مَا يَخْرُجُ مِنْهَا وَالْبَذْرُمِنَ الْعَا مِلِ. وَالْمُزَارَعَةُ هِيَ اَلْمُخَا بَرَةُ وَلَكِنَّ الْبَذْرَفِيهَا يَكُوْنُ مِنَ الْمَا لِكِ.
“Mukhaabarah adalah mengelola tanah di atas sesuatu yang dihasilkannya dan benihnya berasal dari pengelola. Adapun muzaara’ah, sama seperti mukhaabarah hanya saja benihnya berasal dari pemilik tanah.”
Dalam masalah ini, Muzaara’ah dan Mukhaabarah mempunyai pengertian yang sama, dan yang dipersoalkan hanya mengenai bibit pertanian itu. Muzaara’ah bibitnya berasal dari pemilik lahan dan Mukhaabarah bibitnya berasal petani penggarap.
B. Landasan Hukum Muzaara’ah dan Mukhabarah
Dalam membahas Muzaara’ah dan Mukhaabarah terjadi perbedaan pendapat dikalangan para ulama.
Imam Abu Hanifah dan Zufair ibn Huzail pakar Fiqh Hanafi, berpendapat bahwa akad Muzaara’ah tidak dibolehkan. Menurut mereka akad Muzaara’ah dengan bagi hasil, seperti seperempat dan seperdua hukumnya batal.
Alasan Imam Abu Hanifah dan Zufair Ibn Huzaial adalah sebuah hadis berikut:
أنَّ رَسُوْلَﷲِ صلعم عَنِ الْمُخَا بَرَةِ ﴿روه مسلم
Artinya:
“Rasulullah Saw. Yang melarang melakukan al-mukhaabarah. (HR. Muslim dari Jabir Ibn Abdillah)
Al-Mukhabarah dalam sabda Rasulullah Saw itu adalah Al-Muzaara’ah, sekalipun dalam Mukhaabarah bibit yang ditanam berasal dari pemilik tanah.
Dari riwayat Sabit Ibn Adh-Dhahhak dikatakan:
أنَّ رَسُوْلَﷲِ صلعم عَنِ الْمُزَ رَعَةِ ﴿روه مسلم
﴾
Artinya:
“Rasulullah Saw. melarang al-muzaara’ah”. (HR. Muslim)
Menurut mereka, obyek akad dalam Muzaara’ah belum ada dan tidak jelas kadarnya, karena yang dijadikan imbalan untuk petani adalah hasil pertanian yang belum ada (al-ma’dun) dan tidak jelas (al-jahalah) ukurannya, sehingga keuntugan yang akan dibagi sejak semula tidak jelas. Boleh jadi pertanian itu tidak menghasilkan sehingga petani tidak mendapatkan apa-apa dari hasil kerjanya. Obyek akad yang bersifat al-ma’dun dan al-jahalah inilah yang membuat akad ini tidak sah.
Ulama mazhab Syafi’I juga mengatakan akad itu tidak sah, kecuali apabila Muzaara’ah itu mengikat pada akad Musaaqah (kerjasama pemilik kebun dengan petani dalam mengelola pepohonan yang ada dikebun itu, yang hasilnya nanti dibagi menurut kesepakatan bersama). Mislanya apabila terjadi kerjasama dalam pengolahan perkebunan, kemudian ada tanah kosong yang boleh dimanfaatkan untuk muzaara’ah (pertanian) maka menurut ulama syafi’i akad muzaara’ah boleh dilakukan. Akad ini tidak berdiri sendiri tetapi tidak mengikat pada akad musaaqah.
Mazhab Maliki, Hanbali, Imam Abu Yusuf, Muhammad Ibn Al-Hasan As-Syaibarni (keduannya sahabat Abu HAnifah) dan ulama Azh-Zhahiri berpendapat bahwa akad Muzaara’ah hukumnya boleh, karena aldnya cukup jela. Yaitu ada kerjasama anatara pemilik lahan dengan petani sebagai pengelola. Mereka beralaskan Hadis Rasulullah:
عَنِ ابْنِ عُمَرُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّ ﷲُعَلَيْهِ وَسَلّمَ: عَا مَلَ أَهْلَ خَيْبَرَبِشَرْط مَا يَخْرُ جُ مِنْ ثَمَرٍأَوْزَرْعٍ
﴿روه مسلم﴾
Artinya:
Dari Ibnu Umar”Sesungguhanaya Nabi Saw. Telah memberikan kebun beliau kepada penduduk Khaibar agar mereka pelihara dengan perjanjian mereka akan diberi sebagian penghasilan, baik dari buah-buahan maupun dari hasil tanaman (palawija). (HR. Muslim).
Menurut mereka, akad ini bertujuan untuk saling membantu antara petani dengan pemilik tanah pertanian. Pemilik tanah tidak mampu untuk mengerjakan tanahnya, sedangkan petani tidak mempunyai tanah pertanian. Oleh sebeb itu, wajar apabila antara pemilik tanah persawahan bekerjasama dengan petani penggarap, dengan ketentuan bahwa hasilnya mereka bagi sesuai dengan kesepekatan bersama.
Menurut ulama Maliki dan Hanbali, akad seperti ini termasuk kedalam firman Allah:
...وَتَعَاوَنُوْاعَلَ الْبِرِّوَالتَّقْوَوَلَاتَعَا وَنُوْاعَلَ الْإِثْمِ والْعُدْوَانِ... ﴿الماٮٔدة:٢﴾
“…tolong menolonglah kamu atas kebajikan dan ketaqwaan dan jangan tolong menolong dalam bebuat dosa dan permusuhan…” (Al-Maidah:2)
Setelah diperhatika, perbedaan pendapat terjadi karena berbeda dalam memahami hadis tersebut diatas.
C. Rukun Muzaara’ah dan Mukhaabarah
Ada beberapa rukun yang harus dipenuhi dalam akad Muzaara’ah dan Mukhaabarah, agar akad itu menjadi sah.
1. Pemilik lahan
2. Petani penggarap
3. Obyek muzaara’ah yaitu antara manfaat lahan dari hasil kerja pengelola
4. Ijab dan qabul
Ijab (ungkapan peyerahan tanah dari pemilik tanah) dan qabul (peryataan menerima tanah untuk digarap dari petani). Secara sederhana ijab dan qabul cukup dengan lisan saja. Namun, sebaiknya dapat dituangkan dalam surat perjanjian yang dibuat dan disetujui bersama, termasuk bagi hasil (persentase kerjasama itu).
D. Syarat-syarat Muzaara’ah dan Mukhaabarah
Menurut jumhur ulama, syarat-syarat muzaara’ah dan mukhaabarah ada yang berkaitan dengan orang yang berakad, benih yang akan ditanam, lahan yang akan dikerjakan, hasil yang akan dipanen dan jangka waktu berlaku akad.
1. Syarat yang berkaitan dengan orang yang melakukan akad, harus baligh dan berakal.
2. Syarat yang berkaitan dengan benih-benih harus jelas.
3. Syarat yang berkaitan dengan lahan pertanian adalah:
a. Menurut akad kebiasaan dikalangan petani, lahan itu bisa diolah dan menghasilkan. Sebab, ada tanaman yang tidak cocok ditanami pada daerah tertentu.
b. Batas-batas lahan itu jelas
c. Lahan itu diserahkan sepenuhnya kepda petani untuk diolah dan pemilik lahan tidak boleh ikut campur tangan untuk mengolahnya.
4. Syarat-syarat yang berkaitan dengan hasil:
a. Pembagian hasil panen harus jelas (persentasenya)
b. Hasil panen itu benar-benar milik bersama orang yang berakad, tanpa ada pengkhususan seperti disisihkan dahulu sekian persen.
Persyaratan ini pun sebaiknya dicantumkan dalam perjanjian, sehingga tidak timbul perselisihan dibelakang hari, terutama sekali lahan yang dikelola itu sangat luas.
5. Syarat-syarat yang berkaiatan dengan waktu pun harus jelas di dalam akad, sehingga pengelola tidak dirugikan, seperti membatalakan akad sewaktu-waktu. Untuk menetukan jangka waktu ini biasanya disesuaikan dengan adat kebiasaan setempat.
6. Syarat yang berhubungan dengan objek akad, juga harus jelas pemanfaatnya benihnya, pupuknya dan obatnya, seperti yang berlaku pada daerah setempat.
Imam Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan Ash-Syaibani menyatakan, bahwa dilihat dari segi syah akad muzaara’ah, maka ada 4 bentuk muzaara’ah :
a) Apabila lahan dan bibit dari pemilik lahan, kerja dan alat dari petani, sehingga yang menjadi objek muzaraa’ah adalah jasa petani, maka hukumnya sah.
b) Apabila pemilik lahan hanya menyediakan lahan saja, sedang kan petani menyediakan bibit, alat dan kerja, sehingga yang menjadi objek muzaara’ah adalah manfaat lahan, maka akad muzaara’ah dipandang sah.
c) Apabila lahan, alat dan bibit dari pemilik lahan dan kerja dari petani, maka akad muzara’ah juga sah.
d) Apabila lahan pertanian dan alat disediakan pemilik lahan, sedangkan bibit dan kerja disediakan petani maka akad itu tidak sah. Mereka beralasan, apabila alat pertanian dari pemilik lahan, maka akad menjadi rusak, karena alat pertanian tidak bisa mengkat pada lahan. Menurut mereka, manfaat alat pertanian itu tidak sejenis dengan manfaat lahan, karena lahan adalah untuk menghasilkan tumbuhan dan buah, sedangkan manfaat alat hanya untuk mengolah lahan saja. Alat pertanian seharusnya mengikat kepada petani penggarap, buka pada pemilik penggarap.
E. Zakat Muzaara’ah dan Mukhaabarah
Zakat hasil paroan sawah atau ladang ini diwajibkan atas orang yang punya benih, jadi pada muzaara’ah, zakatnya wajib atas petani yang bekerja, karena pada hakekatnya dialah yang bertanam, yang punya tanah seolah – olah mengambil sewa tanahnya, sedangkan penghasilan sewaan tidak wajib dikeluarkan zakatnya.
Sedangkan pada mukhaabarah, zakat diwajibkan atas yang punya tanah karena pada hakekatnya dialah yang bertanam, petani hanya mengambil upah bekerja. Penghasilan yang didapat dari upah tidak wajib dibayar zakatnya. Kalau benih dari keduanya, maka zakat wajib atas keduanya, diambil dari jumlah pendapatan sebelum dibagi.
F. Akad Muzaara’ah dan Mukhaabarah Berakhir
Akad muzaara’ah dan mukhaabarah berakhir apabila :
1. Apabila jangka waktu yang disepakati berakhir. Apabila jangka waktunya sudah habis, sedangkan panen belum dilaksanakan karena belum layak panen, maka ditunggu sampai panen selesai, walau sudah jatuh tempo.
2. Menurut Ulama mazhab Hanafi dan Hambali, apabila salah seorang berakad wafat, maka akad muzaara’ah dan mukhaabarah berakhir. Tetapi Ulama mazhab Maliki dan Syafi’I berpendapat, bahwa akad itu tidak berakhir dan dapat diteruskan oleh ahli warisnya.
3. Ada uzur salah satu pihak yang menyebabkan mereka tidak dapat melanjutkan akad muzaara’ah dan mukhaabarah tersebut seperti :
a) Pemilik lahan tersebut terlibat hutang, sehingga lahan itu harus dijual.
Apabila pembatalan itu tidak dapat diselesaikan oleh kedua belah pihak, maka pembatalannya harus melalui campur tangan hakim. Apabila lahan itu hampir panen, maka lahan itu baru dapat dijual setelah selesai panen.
Dalam hal ini pemilik lahan juga harus memperhitungkan jangan sampai petani dirugikan. Umpamanya, lahan itu baru ditanam dan kemudian dijual oleh pemilik lahan. Kebijaksanaan harus ada, karena petani tidak mendapatkan bagian dari hasil petani itu.
b) Petani uzur, seperti sakit atau berpergian ketempat jauh yang memungkinkan dia melaksanakan tugasnya sebagai petani.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Muzaara’ah ialah mengerjakan tanah (orang lain) seperti sawah atau ladang dengan imbalan sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga atau seperempat). Sedangkan biaya pengerjaan dan benihnya ditanggung pemilik tanah. Mukhabarah ialah mengerjakan tanah (orang lain) seperti sawah atau ladang dengan imbalan sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga atau seperempat). Sedangkan biaya pengerjaan dan benihnya ditanggung orang yang mengerjakan atau petani penggarap.
Muzara’ah dan mukhabarah terdapat pembagian hasil. Untuk hal-hal lainnya yang bersifat teknis disesuaikan dengan syirkah yaitu konsep bekerja sama dalam upaya menyatukan potensi yang ada pada masing-masing pihak dengan tujuan bisa saling menguntungkan.
B. Saran
Semoga dengan adanya tulisan ini dapat menambah wawasan kami (penulis) khususnya dan para pembaca pada umumnya. Kami menyadari bahwa dalam tulisan ini masih banyak terdapat kekurangan dan kelemahan, baik dalam penulisan kata, tanda baca, maupaun tata bahasa yang digunakan dalam tulisan ini.
Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca demi memperbaiki tulisan kami dikemudian hari. Semoga dengan adanya tulisan ini dapat menambah wawasan dan ilmu para pembaca terutama mahasiswa semester IV program studi Syar’ah jurusan Ekonomi Islam 2012.
DAFTAR PUSTAKA
M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Isam (Fiqh Mu’amalat), PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004
Dr. H. Nasrun Haroen, MA, Fiqh Muamalah, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2007.
Dr. Rachmat Syafi’I, MA, Fiqh Muamalah, CV Pustaka Setia, Bandung, 2001
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar