Selasa, 06 November 2012

Gaya Hidup Mahasiswa Jurusan Syariah

LIFE STYLE MAHASISWA JURUSAN SYARIAH Oleh: Nurlia NIM: 1102110523 Gaya hidup merupakan budaya yang dikembangkan oleh seseorang yang bisa mengandung moral tertentu. Gaya hidup berkembang sesuai denga zaman dan kamajuan teknologi yang bisa berdampak positif dan negatif tergantung dari pelakunya. Kebanyakan mahasiswa menjadi pelopor gaya hidup atau lifestyle. Seharusnya mahasiswa itu mampu memfilter pengaruh pengaruh gaya hidup dari berbagai aspek lingkungan. Karna secara fisik mahasiswa sudah dikatakan dewasa dari segi biologis, mental dan pendidikan. Biasanya ketidak percayaan diri inilah yang mendorong mahasiswa harus mengikuti gaya hidup yang berkiblat kepada Barat. (http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2012/03/12/mahasiswa-dan-gaya-hidup/) Gaya hidup juga sebagai perpaduan antara kebutuhan ekspresi diri dan harapan kelompok terhadap seseorang dalam bertindak berdasarkan pada norma yang berlaku yang mencerminkan sikap, karakter pada individu tertentu. Bisa kita lihat dari keseharian pada mahasiswa Jurusan Syariah. Dibolehkannya memakai celana jens (yang tidak ketat) sehingga menjadi alasan mahasiswa jurusan syariah untuk berpakaian diluar ketentuan. Meraka merasa lebih senang dengan style yang digunakan (baju ketat, celana botol, jilbab modis). Dalam aturan yang berlaku mahasiswa hanya diperboleh menggunakan celana jens yang longgar, tidak ketak dan tidak menampkkan lekukan tubuh mereka khususnya bagi mahasiswinya. Teguran pun mulai bercucuran dari para dosen yang tidak suka dengan style mereka. Tapi teguran dari dosenpun berlaku hanya untuk dosen yang menugurnya (dengan arti kata, ketika dosen itu masuk kemata kuliah orang yang bersangkutan) dan tidak berlaku pada dosen yang lebih membiarkan mereka terus mengenakan busana yang ketat. Ironisnya sanksi hanya berlaku pada hari dimana merek mendapat teguran langsung dari dosen (palingan Cuma dicubit). Banyak sekali peristiwa dan kejadian yang menurut penulis itu sudah mendapat respon positif dari dosen. Sebut saja A sudah berulang kali dia di tegur, tapi teguran itu hanya di anggap angin lalu. Masuk dari telinga kanan keluar dari telinga kiri. Penulis pernah menyaksikan anak semester dua mengenakan baju ketat, celana botol di sanksi oleh salah satu dosen yang memang anti style seperti itu di suruh lihat atau tonton ke abang abang tingkat, dengan perasaan malu dan raut wajahnya yang merah dia lari ke kelasnya. Pada suatu hari Kaprodi Ei dengan terang terangan menegur mahasiwa itu, saat ditegur dia hanya senyum dan mengenggap teguran itu bukti dia dikenal oleh dosen, ya hanya pada saat itu saja ucapan kaprodi di dengar, ke esokan harinya dia tetap saja menggunakan baju kemeja yang setengah lengan, pakai celana kain ketat, dan sepatu hak (high hils). Bahkan dengan santainya dia hanya menggunakan kaos yang tipis transparan sih tidak. Penulis sendiri kasihan dengan kaprodi, sama halnya berbicara pada mayat hidup. Dia berjalan, makan, minum, belajar, namun seperti tidak mempunyai hati dan perasaan. Trend jilbab masa kini sudah mewabah, tidak hanya pada kalangan orang orang kantor, namun sudah menjamur pada kalangan mahasiswa khususnya mahasiswa jurusan syariah. Dengan bermacam gaya, dan model lilitan jilbab. Saya juga bingung untuk membedakan, mana yang mau belanja dan mana yang mauke kampus menuntut ilmu. Karna style mereka tidak ada bedanya antara shopping dan ke kampus. Mungkin ini perlu dikaji lebih dalam lagi. Mereka tidak pernah menyadari teguran secamam itu merupakan bukti kalau dosen atau pihak jurusan masih menyayangi para mahasiswanya, dan ingin melindungi mereka dari mata mata jahil yang senang dengan pandangan seperti itu. Mereka kurang luwes memahami kasih sayang dosen. Mereka menganggap teguran itu sebuah candaan, guruan, dan hal yang serupa. Setelah penulis menganalisa dari berbagai kejadian yang sudah dilihatnya secara langsung, memang harus ada tindakan yang keras kepada para mahasiswa yang menggunakan style seperti itu, karna kita berada dilingkungan akademisi yang berisikan manusia intelektual bukan malah ibu ibu yang mau shopping ke mall. Sebenarnya antara Jurusan Tarbiyah, Dakwah, dan Syariah buku panduan yang digunakan adalah sama mahasiswa tidak diboleh untuk mengenakan jelana jens ketat, baju kaos oblong (cowok) daju kaos panjang (cewek). Yang membedakan untuk Jurusan Syariah adalah diperbolehkan menggunaka celana jens tapi yang longgar. Akan tetapi pada kenyataanya tidak. Mereka tetap saja mengenakan busana yang ketat. Teguran lisanpun sudah tidak berlaku lagi. Jadi, menurut hemat penulis perlu adanya sanksi yang tegas bagi seluruh mahasiswa, khususnya Jurusan Syariah berupa teguran melalui lisan secara langsung pada objek atau mahsiswa, surat peringatan (SP 1) kalau perlu diberlakukannya sanksi berupa surat panggilan orang tua, kalau perlu adanya sanksi berupa denda tujuannya agar ada efek jera bagi para mahasiswa sehingga tidak ada lagi gaya busana yang tidak enak dipandang. http://foundtheworld.blogspot.com/2012/05/dunia-mahasiswa-antara-belajar-dan-gaya.html (http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2012/03/12/mahasiswa-dan-gaya-hidup/) Buku Panduan STAIN Pontianak (tanpa tahun), STAIN Press.

Minggu, 09 September 2012

BA'I AS SALAM

A. Pengertian Bai’ as-Salam (In-front Payment Sale) Secara etimologi salam berarti salaf (pendahuluan). Dalam pengetian yang sederhana, bai’ as-salam berarti pembelian barang diserahkan dikemudian hari, sedangkan pembayaran dibayar dimuka. B. Landasan Syariah Bai’ as-Salam Ibn abbas berkata: “aku bersaksi bahwa salam yang dijamin untuk waktu tertentu benar-benar dihalalkan oleh Allah dan diizinkan.” Kemudian ia membaca QS. Al-Baqarah ayat 282: Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis diantara kamu menuliskannya dengan benar...” Berdasarkan firman Allah tersebut, maka sebaiknya akad bai’ as-salam dilakukan secara tertulis agar kewajiban serta tanggung jawab satu sama lain dapat diwujudkan dengan baik, tanpa ada perasaan curiga dan ragu. Di samping ayat tersebut terdapat sabda Rasululullah SAW ketika beliau hijrah ke Madinah, dimana pelaksanaan bai’ as-salam telah digunakan oleh masyarakat dalam jangka waktu dua sampai tiga tahun, sebagaimana sabda Rasulullah SAW : عن بن عباس رضيي الله عنهما قال قد م النبي صلى الله عليه و سلم المدينة وهم يسلفون بلتمر السنتين والثلاث فقل من أسلف في شييء ففيي كيل معلوم ووزن معلوم إلى أجل معلوم (رواه البخاري) Artinya : “Dari Ibn ‘Abbas semoga Allah meridhoi keduanya, Nabi SAW bersabda : Beliau telah datang ke Madinah dan beliau menemui masyarakat yang melakukan jual beli secara salaf (salam) dengan buah-buahan selama dua dan tiga tahun, lalu Rasulullah bersabda : Barang siapa yang melakukan salaf pada sesuatu benda maka hendaklah jual beli itu mengikuti sukatan yang tertentu, timbangan serta masa tertentu.” (HR. Bukhari) Hadits di atas merupakan dalil tentang bolehnya hukum bai’ as-salam. Beliau menjelaskan pelaksanaan bahwa bai’ as-salam antara petani buah-buahan dan pedagang yang masa penyerahannya selama dua tahun. Cara seperti ini diperlukan untuk memenuhi keperluan masyarakat pada saat itu. Akan tetapi setelah tersebarnya Islam, keperluan terhadap bai’as-salam semakin meluas. Pelaksanaannya tidak hanya terbatas pada pertanian saja, akan tetapi juga telah melibatkan perindustrian dan sebagainya. Waktu penyerahan barang juga dapat dilakukan lebiRh singkat lagi. Sedangkan pada masa Rasulullah SAW masanya dua sampai tiga tahun, maka untuk masa sekarang penghantaran barang dapat saja dilakukan dua atau tiga bulan, bahkan boleh dalam satu hari, kalau memang bisa dilakukan. Dalam hal ini ulama sepakat untuk membolehkannnya, tetapi dengan syarat harus sejalan dengan ketentuan Sunnah. Sedangkan penyerahan barang semestinya dalam bentuk bertangguh pada waktu atau tempo yang telah disepakati, sesuai dengan sifat dan ukuran dari pesanan. Kemudian berkaitan dengan waktu pembayaran, sebagian ulama mengharuskan pada saat akad ditanda tangani atau sebelum berpisah. C. Rukun Bai’ as-Salam Pelaksanaan bai’ as-salam harus memenuhi beberapa rukun berikut ini : 1) Muslam (المسلم) atau pembeli 2) Muslam ilaih (المسلم اليه) atau penjual 3) Modal atau uang 4) Muslam fiihi (المسلم فيه) atau barang 5) Sighat (الصيخة) atau ucapan D. Syarat Bai’ as-Salam Di samping segenap rukun harus terpenuhi, bai’ as-salam juga mengharuskan tercukupinya segenap syarat pada masing-masing rukun. Dua diantara rukun-rukun terpenting, yaitu modal dan barang. 1. Modal Transaksi Bai’ as-Salam a) Modal harus diketahui Barang yang akan disuplai harus diketahui jenis, kualitas dan jumlahnya. Hukum awal mengenai pembayaran adalah bahwa ia harus dalam bentuk uang tunai. b) Penerimaan pembayaran salam Kebanyakan ulama mengharuskan pembayaran salam dilakukan di tempat kontrak. Hal tersebut dimaksudkan agar pembayaran yang diberikan oleh al-muslam (pembeli) tidak dijadikan sebagai utang penjualan. Lebih khusus lagi, pembayaran salam tidak bisa dalam bentuk pembebasan utang yang harus dibayar dari muslam ilaih (penjual). Hal ini dilakukan untuk mencegah praktik riba melalui mekanisme salam. 2. Al-Muslam Fiihi (barang) Diantara syarat-syarat yangharus dipenuhi dalam al-muslam fiihi atau barang yang ditransasikan dalam bai’ as-salam adalah sebagai berikut : a) Harus spesifik dan dapat diakui sebagai utang. b) Harus bisa diidentifikasi secara jelas untuk mengurangi kesalahan akibat kurangnya pengetahuan tentang macam barang tersebut. c) Penyerahan barang dilakukan di kemudian hari. d) Kebanyakan ulama mensyaratkan penyerahan barang harus pada suatu waktu kemudian, tetapi mazhab syafi’i membolehkan segera. e) Bolehnya menentukan tanggal waktu di masa yang akan datang untuk penyerahan barang. f) Tempat penyerahan. Pihak-pihak yang berkontrak harus menunjuk tempat yang disepakati dimana barang harus diserahkan . jika kedua pihak yang berkontrak tidak menentukan tempat pengiriman, barang harus dikirim ke tempat menjadi kebiasaan., misalnya gudang si penjual atau bagian pembelian si pembeli. g) Penggantian muslam fiihi dengan barang lain. Para ulama melarang penggantian muslam fiihi dengan barang lainnya. Penukaran atau penggantian barang as-salam ini tidak diperkenankan, karena meskipun belum diserahkan, barang trsebut tidak lagi milik si muslam ilaih, tetapi sudah menjadi milik muslam (fidz-dzimah). Bila barang tersebut diganti dengan barang yang memiliki spesifikasi dan kualitas yang sama, meskipun sumbernya berbeda, para ulama membolehkannya. Hal demikian dianggap sebagai jual beli, melainkan penyerahan unit yang lain untuk barang yang sama. E. Salam Paralel Salam paralel berarti melaksanakan dua transaksi bai’ as-salam antara bank dan nasabah, dan antara bank dan pemasok (suplier) atau pihak ketiga lainnya secara simultan. Dewan Pengawas Syariah Rajhi Banking & Investment Corporation telah menetapkan fatwa yang membolehkan praktek salam paralel dengan syarat pelaksanaan transaksi salam kedua tidak bergantung pada pelaksanaaan akad salam yang pertama. Beberapa ulama kontemporer memberikan catatan atas transaksi salam paralel, terutama jika perdagangan dan transaksi semacam itu dilakukan secara terus-menerus. Hal demikian diduga akan menjurus kepada riba. F. Perbedaan Antara Jual Beli Salam dan Jual Beli Biasa Ada beberapa perbedaan antara jual beli salam dan jual beli biasa yang dikemukakan oleh para ulama fiqh, diantaranya adalah : 1) Harga barang dalam jual beli salam tidak boleh dirubah dan harus diserahkan seluruhnya waktu akad berlangsung. Berbeda dengan jual beli biasa, pembeli boleh saja membeli barang yang ia beli dengan utang penjual pada pembeli. Dalam artian, utang dianggap lunas dan barang diambil oleh pembeli. 2) Harga yang diberikan berbentuk uang tunai, bukan cek mundur. Jika harga yang diserahkan oleh pemesan adalah cek mundur, maka jual beli pesanan batal, karena modal untuk membantu produsen tidak ada. Berbeda dengan jual beli biasa, harga yang diserahkan boleh saja berbentuk cek mundur. 3) Pihak produsen tidak dibenarkan menyatakan bahwa uang pembeli dibayar kemudian, karena jika ini terjadi maka jual beli ini tidak lagi dinamakan jual beli salam. Sedangkan dalam jual beli biasa, pihak produsen boleh berbaik hati untuk menunda penerimaan harga barang ketika barang telah selesai dan diserahkan. 4) Menurut ulama Hanafiyah, modal atau harga beli boleh dijamin oleh seseorang yang hadir pada waktu akad dan penjamin itu bertanggung jawab membayar harga itu ketika itu juga. Akan tetapi, menurut Zufar ibn Huzail, pakar fiqh Hanafi, harga itu tidak boleh dijamin oleh seseorang, karena adanya jaminan ini akan menunda pembayaran harga yang seharusnya dibayar tunai pada waktu akad. Dalam jual beli biasa, persoalan harga yang dijamin oleh seseorang atau dibayar dengan borog (barang jaminan) tidaklah menjadi masalah asal keduanya sepakat. Persoalan lain dalam masalah jual beli pesanan adalah masalah penyerahan barang ketika tenggang waktu yang disepakati jatuh tempo,. Dalam hal ini, para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa pihak produsen wajib menyerahkan barang itu jika waktu yang disepakati telah jatuh tempo dan di tempat yang disepakati pula. Akan tetapi, jika barang sudah diterima pemesan dan ternyata ada cacat atau tidak sesuai dengan ciri-ciri yang dipesan, maka dalam kasus seperti ini pihak konsumen boleh menyatakan apakah ia menerima atau tidak, sekalipun dalam jual beli seperti hak khiyar tidak ada. Pihak konsumen boleh meminta ganti rugi atau menuntut produsen untuk memperbaiki barang itu sesuai dengan pesanan. Menurut Fathi ad-Duraini, guru besar fiqh Islam di Universitas Damaskus, prospek jual beli as-salam di dunia modern ini semakin berkembang, khususnya antar negara, karena dalam proses pembelian barang di luar negeri, melalui import export, biasanya pihak produsen menawarkan barangnya hanya dengan membawa contoh barang yang akan dijual. Kadangkala barang yang dikirim oleh produsen tidak sesuai dengan contoh yang diperlihatkan kepada konsumen. Oleh sebab itu, kaidah-kaidah as-salam (jual beli pesanan) yang disyariatkan Islam amat relevan diterapkan, sehingga perselisihan boleh dihindari sekecil mungkin. G. Aplikasi Dalam Perbankan Bai’ as-Salam biasanya dipergunakan pada pembiayaan bagi petani dengan jangka waktu yang relatif pendek, yaitu 2-6 bulan. Karena yang dibeli oleh bank adalah barang seperti padi, jagung dan cabai. Dan bank tidak berniat untuk menjadikan barang-barang tersebut sebagai simpanan atau inventory, dilakukanlah akad bai’ as-salam kepada pembeli kedua, misalnya kepada Bulog, pedagang pasar induk atau grosir. Inilah yang dalam Islam dikenal sebagai salam paralel. Bai’ as-Salam juga dapat diaplikasikan pada pembiayaan barang industri, misalnya produk garmen (pakaian jadi) yang ukuran barang tersebut sudah dikenal umum. Caranya, saat nasabah mengajukan pembiayaan untuk pembuatan garmen, bank mereferensikan penggunaan produk tersebut. Hal itu bahwa bank memesan dari pembuat garmen tersebut dan membayarnya pada waktu pengikatan kontrak. Bank kemudian mencari pembeli kedua. Pembeli tersebut bisa saja rekanan yang telah direkomendasikan oleh produsen garmen tersebut. Bila garmen itu telah selesai diproduksi, produk tersebut diantar kepada rekanan tersebut. Rekanan kemudian membayar kepada bank, baik secara mengangsur maupun tunai. H. Manfaat Manfaat bai’ as-salam adalah selisih harga yang didapat dari nasabah dengan harga jual kepada pembeli. BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa bai’ as-salam adalah pembelian barang yang diserahkan dikemudian hari, sedangkan pembayarannya dibayar dimuka. Selain dipergunakan pada pembiayaan petani bai’ salam juga dapat diaplikasikn pada pembiayaan industri. DAFTAR PUSTAKA Antonio,Muhammad Syafi’i.2001.Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik.Jakarta: Tazkia Cendekia. Arifin,Zainul.2002.Dasar-Dasar Manajemen Bank Syariah.Jakarta: AlvaBet. Hultawi,M.Hum.2006.Ekonomi Islam.Jakarta: Ciputat Press. Haroen,Nasrun.2007.Fiqh Mu’amalah.Jakarta: Gaya Media Pratama.

Kamis, 12 Juli 2012

PRODUKSI DALAM ISLAM

BAB I Pendahuluan A.Latar Belakang Sesuai kodratnya manusia tidak mungkin menghindarkan diri dari kegiatan konsumsi dan produksi. Demi eksistensi dan kenyamanan hidupnya, manusia memerlukan banyak barang dan jasa. Sementara barang yang tersedia secara langsung untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup manusia itu sangat terbatas, baik menyangkut jumlah, ragam maupun kualitasnya. Dari sinilah kemudian manusia terpanggil untuk melakukan kegiatan produksi. Mengelola berbagai sumber daya yang ada dengan mengubahnya untuk membuat atau menghasilkan sesuatu, demi memenuhi kebutuhan hidupnya yang terus meningkat dan bervariasi seiring dengan dinamika peradaban. Dengan demikian maka persoalan yang menjadi urgen adalah:Apakah makna dari produksi itu? Bagaimana Pandangan Islam tentang konsep produksi? Inilah pertanyaan-pertanyaan yang seharusnya selalu mengiringi perjalanan hidup manusia dalam berproduksi agar Hal ini sesuai dengan tanggung jawab pribadi dan sosial yang diembannya. Pemahaman terhadap persoalan ini diharapkan dapat mengantarkan manusia pada nilai hidup yang lebih bermartabat, proporsional, berkeadilan, juga terhindarkan dari ancaman murka Allah SWT. Banyak aspek yang terkait antara produksi yang perlu diperhatikan agar tujuan produksi ini dapat maksimal dan tetap dalam koridor ridha Allah. Islam sendiri telah memiliki pedoman bagaimana manusia itu harus melakukan proses produksi. Pelanggaran terhadap ketentuan ini dapat berakibat negatif bahkan fatal bagi kehidupan manusia. Semoga makalah yang berjudul ‘’Konsep Produksi dalam Ekonomi Islam’’ ini mampu memberi tambahan pencerahan pada pemerhati ekonomi Islam. B. Fokus Masalah 1. Pengertian Produksi 2. Tujuan Produksi 3. Faktor Produksi 4. Prinsif- Prinsif Produksi BAB II Pembahasan A. Pengertian Produksi Dr. Muhammad Rawwas Qalahji memberikan kata “produksi” dalam bahasa Arab dengan kata al-intaj yang secara harfiyah dimaknai dengan ijadu sil’atin (mewujudkan atau mengadakan sesuatu). Produksi menurut Kahf mendefinisikan kegiatan produksi dalam perspektif islam sebagai usaha manusia untuk memperbaiki tidak hanya kondisi fisik materialnya, tetapi juga moralitas, sebagai sarana untuk mencapai tujuan hidup sebagaimana digariskan dalam agama islam, yaitu kebahagiaan dunia dan akhirat. Dari dua pengertian diatas produksi dimaksudkan untuk mewujudkan suatu barang dan jasa yang digunakan tidak hanya untuk kebutuhan fisik tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan non fisik, dalam artian yang lain produksi dimaksudkan untuk menciptakan mashlahah bukan hanya menciptakan materi. B. Tujuan Produksi Dalam konsep ekonomi konvensional (kapitalis) produksi dimaksudkan untuk memperoleh laba sebesar besarnya, berbeda dengan tujuan produksi dalam ekonomi islam, tujuan produksi dalam islam yaitu memberikan Mashlahah yang maksimum bagi konsumen. Di samping itu, menurut Islam tujuan produksi secara umum adalah untuk mencapai fallah (kebahagiaan, kesejahteraan) hakiki yaitu: 1. Memenuhi kewajiban sebagai khalifah di bumi, beribadah kepada Allah dan untuk menjalankan fungsi sosial. 2. Untuk memenuhi kebutuhan hidup pribadi dan keluarga. 3. Sarana untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan barang dan jasa secara umum. 4. Sebagai persediaan untuk generasi yang akan datang. Walaupun dalam ekonomi islam tujuan utamannya adalah memaksimalkan mashlahah, memperoleh laba tidaklah dilarang selama berada dalam bingkai tujuan dan hukum islam. Dalam konsep mashlahah dirumuskan dengan keuntungan ditambah dengan berkah. Keuntungan bagi seorang produsen biasannya adalah laba (profit), yang diperoleh setelah dikurangi oleh faktor-faktor produksi. Sedangkan berkah berwujud segala hal yang memberikan kebaikan dan manfaat bagi produsen sendiri dan manusia secara keseluruhan. Keberkahan ini dapat dicapai jika produsen menerapkan prinsip dan nilai islam dalam kegiatan produksinnya. Dalam upaya mencari berkah dalam jangka pendek akan menurunkan keuntungan (karena adannya biaya berkah), tetapi dalam jangka panjang kemungkinan justru akan meningkatkan keuntungan, kerena meningkatnya permintaan . Berkah merupakan komponen penting dalam mashlahah. Oleh karena itu, bagaimanapun dan seperti apapun pengklasifikasiannya, berkah harus dimasukkan dalam input produksi, sebab berkah mempunyai nyata dalam membentuk output. Berkah yang dimasukkan dalam input produksi meliputi bahan baku yang dipergunakan untuk proses produksi harus memiliki kebaikan dan manfaat baik dimasa sekarang maupun dimasa mendatang. Penggunaan bahan baku yang ilegal (tanpa izin) baik itu dari hasil illegal logging, maupun penggunaan bahan baku yang tanpa batas dalam penggunaannya dalam jangka waktu pendek mungkin akan memiliki nilai manfaat yang baik(pendistribusian baik), tetapi dalam jangka waktu panjang akan menimbulkan masalah. Sebagai contoh penggunaan bahan baku dari ilegal logging dalam jangka panjang akan menimbulkan berbagai bencana, dan akan memberikan nilai mudharat kepada para penerus atau generasi selanjutnya. C. Faktor – Faktor Produksi Menurut Yusuf Qardawi, faktor produksi yang utama menurutu Al Quran adalah alam dan kerja manusia. Fungsi manusia adalah sebagai khalifah di bumi. Khalifah ini diberi amanah oleh Allah untuk memakmurkan bumi. Produksi merupakan perpaduan harmonis antara alam dengan manusia. Sesuai dengan Firman Allah dalam Al Quran suarh Huud:61. “Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya, karna itu mohonlah ampunan_Nya, kemudian bertaubatlah kepadan_Nya, sesungguhnya Tuhanku amat dekat (rahmat_Nya) lagi memperkenankan (doa hamba_Nya).” (QS:Huud:61) Produksi tidak akan dapat dilakukan kalau tidak ada bahan-bahan yang memungkinkan dilakukannya proses produksi itu sendiri. Untuk bisa melakukan produksi, orang memerlukan tenaga manusia, sumber-sumber alam, modal dalam segala bentuknya, serta kecakapan. Jadi, semua unsur yang menopang usaha penciptaan nilai atau usaha memperbesar nilai barang disebut sebagai faktor-faktor produksi. Seorang produsen dalam menghasilkan suatu produk harus mengetahui jenis atau macam-macam dari faktor produksi. Macam faktor produksi secara teori terbagi menjadi empat, yaitu sebagai berikut: a. Tanah Hal yang dimaksud dengan istilah land atau tanah di sini bukanlah sekedar tanah untuk ditanami atau untuk ditinggali saja, tetapi termasuk pula di dalamnya segala sumber daya alam (natural resources). Dengan demikian, istilah tanah atau land ini maksudnya adalah segala sesuatu yang bisa menjadi factor produksi berasal dan atau tersedia di ala mini tanpa usaha manusia, yang antara lain meliputi: 1. Tenaga penumbuh yang ada di dalam tanah, baik untuk pertanian, perikanan, maupun pertambangan. 2. Tenaga air, baik untuk pengairan maupun pelayaran. Termasuk juga di sini adalah air yang dipakai sebagai bahan pokok oleh Perusahaan Air Minum. 3. Ikan dan mineral, baik ikan dan mineral darat (sungai, danau, tambak, dan sebagainya) maupun ikan dan mineral laut. 4. Tanah yang di atasnya didirikan bangunan. 5. Living stock, seperti ternak dan binatang-binatang lain yang bukan ternak. 6. Dan lain-lain, seperti bebatuan dan kayu-kayu b. Tenaga kerja Dalam ilmu ekonomi yang dimaksud dengan istilah tenaga kerja manusia (labor) bukanlah semata-mata kekuatan manusia untuk mencangkul, menggergaji, bertukang, dan segala kegiatan fisik lainnya, akan tetapi lebih luas lagi yaitu human resources (sumber daya manusia). Di dalam istilah human resources atau SDM itu tercakuplah tidak saja tenaga fisik atau tenaga jasmani manusia tetapi juga kemampuan mental atau kemampuan nonfisiknya, tidak saja tenaga terdidik tetapi juga tenaga yang tidak terdidik, tidak saja tenaga yang terampil tetapi juga yang tidak terampil. Pendek kata, di dalam istilah atau pengertian human resources itu terkumpullah semua atribut atau kemampuan manusiawi yang dapat disumbangkan untuk memungkinkan dilakukannya proses produksi barang dan jasa. c. Modal Modal (capital) yaitu meliputi semua jenis barang yang dibuat untuk menunjang kegiatan produksi barang-barang lain serta jasa-jasa. Termasuk ke dalam bilangan barang-barang modal misalnya mesin-mesin, pabrik-pabrik, jalan-jalan raya, pembangkit tenaga listrik, gudang serta semua peralatannya. Modal juga mencakup arti uang yang tersedia di dalam perusahaan untuk membeli mesin-mesin, serta faktor-faktor produksi lainnya. d. Kecakapan Tata Laksana (Manajemen) Kecakapan (skiil) yang menjadi faktor produksi keempat ini disebut juga deangan sebutan entrepreneurship. Entrepreneurship ini merupakan faktor produksi yang intangible (tidak dapat diraba), tetapi sekalipun demikian peranannya justru amat menentukan. Seorang entrepreneurship mengorganisir ketiga faktor produksi lainnya agar dapat dicapai hasil yang terbaik. Ia pun menanggung resiko untuk setiap jatuh bangun usahanya. Tidak pelak lagi bahwa faktor produksi yang keempat ini adalah yang terpenting di antara semua faktor produksi. Memang ia tidak bisa dilihat, tetapi setiap orang mengetahui dan merasakan bahwa ia, entrepreneurship atau managerial skill itu, adalah amat penting peranannya sehubungannya dengan yang dihasilkan. Keempat faktor produksi yang telah disebutkan di atas, adalah unsur-unsur yang harus bekerja demi terlaksananya proses produksi. Apabila keempatnya adalah kita misalkan makhluk-makhluk yang dapat berpikir dan merasa, keempatnya adalah tanah, tenaga manusia, modal, dan tata laksana semuanya itu akan minta dan menuntut balas jasa atas hasil kerjanya. Kepada faktor produksi tanah dibayarkan sewa (rent). Untuk tenaga manusia (labor) dikenal tiga jenis pembayaran balas jasa, yaitu upah (wage), gaji (salary), dan royalty. Untuk modal dibayarkan bunga (interest) dan deviden. D. Prinsif – Prinsif Produksi Prinsip-prinsp produksi secara singkat adalah pedoman yang harus diperhatikan, ditaati, dan dilakukan ketika akan berproduksi. Prinsip-prinsip produksi dalam Islam, diantaranya adalah sebagai berikut: a. Berproduksi dalam lingkaran halal Yang dimaksud makanan halalan thayyiban adalah makanan yang boleh untuk dikonsumsi secara syariat dan baik bagi tubuh secara kesehatan ( medis). Makanan dikatakan halal paling tidak harus memenuhi tiga kriteria, yaitu halal zatnya, halal cara perolehannya, dan halal cara pengolehannya. Makanan yang halal zatnya adalah makanan yang pada dasarnya halal dikonsumsi karena tidak ada dalil yang melarangnya. Makanan yang halal diperoleh, yaitu makanan yang perolehannya secara sah yang dibenarkan oleh syariat. Makanan yang halal pengolahannya, yaitu makanan yang pengolahannya tidak berlawanan dengan syariat dan mengandung kriteria baik , yaitu mengandung gizi dan vitamin (Djakfar, 2009: 194-197) Dalam ajaran (hukum) Islam, halal dan haram merupakan persoalan sangat penting dan dipandang sebagai inti keberagaman karena setiap muslim yang akan melakukan atau menggunakan, terlebih lagi mengkonsumsi sesuatu sangat dituntun oleh agama untuk memastikan terlebih dahulu kehalalan dan keharamannya. Jika halal, boleh (halal) melakukan, mengunakan atau mengkonsumsinya demikian pula sebalikya. Kata Halalan, menurut bahasa Arab berasal dari kata, halla yang berarti lepas atau tidak terikat. Secara etimologi kata Halalan berarti hal-hal yang boleh dan dapat dilakukan karena bebas atau tidak terikat dengan ketentuan-ketentuan yang melarangnya. Dapat juga diartikan sebagai segala sesuatu yang bebas dari bahaya duniawi dan ukhrawi. Menurut ajaran Islam, mengkonsumsi yang halal, suci, dan baik merupakan perintah agama dan hukumnya adalah wajib Dalam mengkonsumsi makanan (atau harta), kita jelas harus mengikuti aturan yang telah ditentukan syariat . Diantara aturan ini adalah sebagaimana yang termaktub dalam QS. Al Baqoroh (2: 168) Artinya: Hai sekalian manusia ,makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi ,dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan , karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu. Prinsip produksi yang wajib dilaksanakan oleh setiap muslim, baik individu maupun komunitas adalah berpegang pada semua yang dihalalkan Allah dan tidak melewati batas. Pada dasarnya, produsen pada ekonomi konvensional tidak mengenal istilah halal dan haram. Yang menjadi prioritas kerja mereka adalah memenuhi keinginan pribadi dengan mengumpulkan laba, harta, dan uang. Tidak mementingkan apakah yang diproduksinya itu bermanfaat atau berbahaya, baik atau buruk, etis atau tidak etis. Adapun sikap seorang muslim sangat bertolak belakang. Ia tidak boleh menanam apa apa yang diharamkan, seperti poppy yang diperoleh dari buah opium, demikian pula cannabis atau heroin. Seorang muslim tidak boleh menanam segala jenis tumbuhan yang membahayakan manusia, seperti tembakau yang menurut keterangan WHO, sains, dan hasil riset berbahaya bagi manusia. Selain dilarang menanam tanaman-tanaman yang berbahaya bagi manusia, sorang muslim juga dilarang memproduksi barang-barang haram, baik haram dikenakan maupun haram dikoleksi. Misalnya membuat patung atau cawan dari bahan emas dan perak, dan membuat gelang emas untuk laki laki. Syariat juga melarang memproduksi produk yang merusak akidah, etika, dan moral manusia, seperti produk yang berhubungan dengan pornografi dan sadisme, baik dalam opera, film, dan musik. Fungsi Standarisasi Halal Persoalan kehalalan sebuah produk merupakan persoalan yang pelik dan tidak dapat dipandang mudah. Ia memerlukan kajian laboratorium yang mendalam untuk memastikan bahan baku, proses pembuatan, media bahkan hingga kemasannya. Oleh karena itu, diperlukan adanya standarisasi halal. Standarisasi halal ini memiliki fungsi untuk memberikan kepastian, perlindungan, dan ketenangan konsumen, terutama umat Islam, dari mengkonsumsi suatu produk yang haram. Hal ini merupakan salah satu hak konsumen yang dilindungi dalam Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Salah satunya adalah pada pasal 4 (a) disebutkan bahwa hak konsumen adalah hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan atau jasa. Pasal ini menunjukkan bahwa setiap konsumen, termasuk konsumen muslim yang merupakan mayoritas konsumen di Indonesia, berhak untuk mendapatkan barang yang nyaman dikonsumsi olehnya. Salah satu pengertian nyaman bagi konsumen muslim adalah bahwa barang tersebut tidak bertentangan dengan kaidah agamanya, alias halal. Selanjutnya, dalam pasal yang sama point (c) disebutkan bahwa konsumen juga berhak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan atau jasa. Hal ini memberikan pengertian bahwa keterangan halal yang diberikan oleh perusahaan haruslah benar, atau telah teruji terlebih dahulu. Dengan demikian, perusahaan tidak dapat serta merta mengklaim bahwa produknya halal, sebelum melalui pengujian kehalalan yang telah ditentukan. Standarisasi produk halal juga sangat dibutuhkan oleh para produsen untuk menarik minat konsumen Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Ia juga penting untuk meningkatkan daya saing serta untuk kebutuhan ekspor, terutama untuk tujuan negara-negara muslim. Wujud dari standarisasi halal bagi produsen adalah ia harus memiliki sertifikat halal. Namun, disini terdapat permasalahan dalam pembuatan sertifikat halal. Yang mana para produsen merasa diberatkan dengan biaya yang harus dikeluarkan untuk memperoleh sertifikat tersebut. Selain itu, hal tersebut menimbulkan terhambatnya pertumbuhan investasi di industri makanan, terutama bagi usaha skala kecil dan menengah (UKM). b. Keadilan dalam berproduksi Beberapa makna keadilan, antara lain: Pertama, adil berarti sama. Sama berarti tidak membedakan seseorang dengan yang lain. Persamaan yang dimaksud dalam konteks ini adalah persamaan hak. Allah SWT berfirman: “Apabila kamu memutuskan perkara di antara manusia, maka hendaklah engkau memutuskannya dengan adil...... (Surah An Nisaa'/4:58). Manusia memang tidak seharusnya dibeda bedakan satu sama lain berdasarkan latar belakangnya. Kaya-papa, laki-puteri, pejabat-rakyat, dan sebagainya, harus diposisikan setara. Kedua, adil berarti seimbang Allah SWT berfirman: Wahai manusia, apakah yang memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu Yang Maha Pemurah? Yang menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu, dan mengadilkan kamu (menjadikan susunan tubuhmu seimbang). (Surah al-Infitar/82: 6-7). Seandainya ada salah satu anggota tubuh kita berlebih atau berkurang dari kadar atau syarat yang seharusnya, pasti tidak akan terjadi keseimbangan (keadilan). Ketiga, adil berarti perhatian terhadap hak hak individu dan memberikan hak hak itu pada setiap pemiliknya. Adil dalam hal ini bisa didefinisikan sebagai wadh al-syai’ fi mahallihi (menempatkan sesuatu pada tempatnya). Lawannya adalah zalim, yaitu wadh’ al-syai’ fi ghairi mahallihi (menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya). “Sungguh merusak permainan catur, jika menempatkan gajah di tempat raja,” ujar pepatah. Pengertian keadilan seperti ini akan melahirkan keadilan sosial. Keempat, adil yang dinisbatkan pada Ilahi. Semua wujud tidak memiliki hak atas Allah SWT. Keadilan Ilahi merupakan rahmat dan kebaikan-Nya. Keadilan-Nya mengandung konsekuensi bahwa rahmat Allah SWT tidak tertahan untuk diperoleh sejauh makhluk itu dapat meraihnya. Allah disebut qaiman bilqisth (yang menegakkan keadilan) (Surah Ali ‘Imram/3: 18). Allah SWT berfirman: Dan Tuhanmu tidak berlaku aniaya kepada hamba-hamba-Nya (Surah Fushshilat/41:46). Keadilan ekonomi: Islam tidak menghendaki adanya ketimpangan ekonomi antara satu orang dengan yang lainnya. Karena itu, (antara lain) monopoli (al-ihtikar) atau apapun istilahnya, sama sekali tidak bisa dibenarkan. Nabi Muhammad Saw bersabda: Tidak menimbun barang kecuali orang-orang yang berdosa. (HR. Muslim). Orang yang bekerja itu diberi rizki, sedang orang yang menimbun itu diberi laknat. (HR. Ibnu Majah). Siapa saja yang menyembunyikan (gandum atau barang-barang keperluan lainnya dengan mengurangi takaran dan menaikkan harganya), maka dia termasuk orang- orang yang zalim. Larangan demikian juga ditemukan dalam al-Qur’an. Allah SWT berfirman: Apa saja harta rampasan (fay’) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota kota maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya di antara kalian saja. Apa saja yang Rasul berikan kepada kalian, terimalah. Apa saja yang Dia larang atas kalian, tinggalkanlah. Bertakwalah kalian kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya. (Suratal-Hasyr/59:7). Umar bin al-Khattab (khalifah Islam ke-2) pernah mengumumkan pada seluruh kawulanya, bahwa menimbun barang dagangan itu tidak sah dan haram. Menurut riwayat Ibnu Majah, Umar berkata: Orang yang membawa hasil panen ke kota kita akan dilimpahkan kekayaan yang berlimpah dan orang yang menimbunnya akan dilaknat. Jika ada orang yang menimbun hasil panen atau barang-barang kebutuhan lainnya sementara makhluk Tuhan (manusia) memerlukannya, maka pemerintah dapat menjual hasil panennya dengan paksa. Dalam kaca mata Umar, pemerintah wajib turun tangan untuk menegakkan keadilan ekonomi. Sehingga ketika ada oknum oknum tertentu melakukan monopoli, sehingga banyak pihak yang terugikan secara ekonomi, pemerintah tidak bisa tinggal diam apalagi malah ikut menjadi bagian di dalamnya. Mebiarkan dan atau menyetujui perbuatan mereka sama halnya berbuat kezaliman itu sendiri. Sistem ekonomi Islam telah memberikan keadilan dan persamaan prinsip produksi sesuai kemampuan masing-masing tanpa menindas orang lain atau menghancurkan masyarakat. Kitab suci Al Quran memperbolehkan kerjasama yang saling menguntungkan dengan jujur, sederajat, dan memberikan keuntungan bagi kedua pihak dan tidak membenarkan cara-cara yang hanya menguntungkan seseorang, lebih-lebih yang dapat mendatangkan kerugian pada orang lain atau keuntungan yang diperoleh ternyata merugikan kepentingan umum. Setiap orang dinasihatkan berhubungan secara jujur dan teratur serta menahan diri dari hubungan yang tidak jujur sebagaimana tersebut dalam QS An Nisa’: 29 “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”. Ayat di atas melarang cara mendapatkan kekayaan dengan cara yang tidak adil dan memperingatkan akan akibat buruk yang ditimbulkan oleh perbuatan-perbuatan yang tidak adil. Jika seseorang mencari dan mendapatkan kekayaan dengan cara yang tidak benar ia tidak hanya merusak usaha dirinya, tetapi akan menciptakan kondisi yang tidak harmonis di pasar yang pada akhirnya akan menghancurkan usaha orang lain. Selain itu dalam QS Ar Rahman: 9 “Dan Tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu.” Ayat di atas menjelaskan bahwa tiap orang Islam hendaknya jujur dalam setiap tindakan, sebagaimana timbangan yang tepat ketika berjualan dan dalam semua kegiatan yang berkenaan dengan orang lain. Orang Islam tidak boleh tertipu daya karena contoh kualitas yang baik, lalu menjual barang-barang yang rendah mutunya atau mengurangi timbangan. Karena pada dasarnya perbuatan tidak adil dan salah akan merusak sistem ekonomi dan akhirnya akan menghancurkan keseluruhan system sosial. Dengan demikian, Al Quran menyetujui nilai-nilai yang mulia dalam persamaan hak, keadilan, kooperasi, dan pengorbanan dalam rangka mereorganisasikan lingkungan sosio-ekonomi masyarakat Islam. Kata ‘adl (عَدْل) dalam berbagai bentuknya terulang sebanyak 28 kali di dalam al-Quran. Kata ‘adl sendiri disebutkan 13 kali, Kata ‘adl di dalam al-Quran memiliki aspek dan objek yang beragam, begitu pula pelakunya. Keragaman tersebut mengakibatkan keragaman makna ‘adl (keadilan). Kata adil dalam Alquran mempunyai arti yang beragam dan mencakup pengertian dan bidang yang berbeda. Beberapa makna keadilan dalam Alquran adalah persamaan dalam hak, mencakup sikap dan perlakuan hakim pada saat proses pengambilan keputusan, berada di pertengahan dan mempersamakan, seimbang, perhatian terhadap hak individu dan memberikan hak itu kepada setiap pemiliknya. BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Produksi adalah menciptakan manfaat dan bukan menciptakan materi. Maksudnya adalah bahwa manusia mengolah materi itu untuk mencukupi berbagai kebutuhannya, sehingga materi itu mempunyai kemanfaatan. Apa yang bisa dilakukan manusia dalam “memproduksi” tidak sampai pada merubah substansi benda. Yang dapat dilakukan manusia berkisar pada misalnya mengambilnya dari tempat yang asli dan mengeluarkan atau mengeksploitasi (ekstraktif). Dalam konsep ekonomi konvensional (kapitalis) produksi dimaksudkan untuk memperoleh laba sebesar besarnya, berbeda dengan tujuan produksi dalam ekonomi konvensional, tujuan produksi dalam islam yaitu memberikan Mashlahah yang maksimum bagi konsumen. Walaupun dalam ekonomi islam tujuan utamannya adalah memaksimalkan mashlahah, memperoleh laba tidaklah dilarang selama berada dalam bingkai tujuan dan hukum islam. Dalam konsep mashlahah dirumuskan dengan keuntungan ditambah dengan berkah. Daftar Pustaka 1. 2. Ali Hasan. Meneguh Kembali Konsep Produksi Dalam Ekonomi Islam 3. Bambang Rudito & Melia Famiola, 2007. Etika Bisnis dan Tanggung Jawab Sosial Indonesia 4. Hermant Laura Pincus, 1998. Perspective in Business Ethics, Irvin McGraw Hill Khaerul. Produksi dan Konsumsi Dala Al Qur’an, 5. Khatimah Husnul , Teori Produksi Islam, Kafe Syariah.net 6. M.A. Mannan, “The Behaviour of The Firm and Its Objective in an Islamic Framework”, 7. http://makalahmajannaii.blogspot.com/2012/02/keadilan-dalam-alquran.html 8. http://www.qothrotulfalah.com/indeks-artikel-santri/281-keadilan-dalam-islam-.html 9. http://khairuddinuad.wordpress.com/keagamaan/sehat-islami-pilih-yang-halal-sekaligus-thayyib/ 10. http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2012/03/13/makna-standarisasi-halal/ 11. http://agustianto.niriah.com/2008/10/04/etika-produksidalam-islam/Aziz Bu

Jumat, 22 Juni 2012

KONSEP PRODUKSI ISLAMI

Konsep Produksi Islami Pengertian Produksi Produksi adalah suatu proses atau siklus kegiatan ekonomi untuk mengahsilkan barang atau jasa tertentu. Dengan memanfaatkan sektor dalam waktu tertentu. Produksi dalam islam dapat di artikan sebagai usaha manusia untuk memperbaiki kondisi fisik material dan moralitas sebagai sarana untuk mencapai tujuan sesuai syariat islam; kebahagiaan dunia akhirat. Ciri ciri utama dalam produksi - kegiatan menciptakan manfaat - penekanan pada mashlahah dalam kegiatan ekonomi. - perusahaan tidak hanya mementingkan keuntungan pribadi dan prusahaan, juga kemashlahatan bagi umat masyarakat islam juga memberi arahan mengenai prinnsip prinsip produksi, di antara yang utama sebagai berikut: 1. kegiatan produksi harus dilandasi nilai nilai Islami yaitu sesuai dengan maqoshid syariah . Tidak memproduksi barang yang bertentangan dengannya yaitu menjaga iman, keturunan, jiwa, akal dan harta. 2. Prioritas produksi harus sesuai dengan prioritas kebutuhan yaitu dharuriyah, hajiyah dan tahsiniyah. 3. Kegiatan produksi harus memperhatikan keadilan, aspek sosial kemasyarakatan, memenuhi kewajiban zakat, sedekah infak dan wakaf (ZISkaf) 4. Mengelola sumber daya alam secara optimal, tidak boros, berlebihan dan merusak lingkungan. 5. Distribusi keuntungan yang adil dan merata antara pemilik, pengelola, manajemen dengan buruh. Di samping itu, menurut Islam tujuan produksi secara umum adalah untuk mencapai fallah (kebahagiaan, kesejahteraan) hakiki yaitu: 1. Memenuhi kewajiban sebagai khalifah di bumi, beribadah kepada Allah dan untuk menjalankan fungsi sosial. 2. Untuk memenuhi kebutuhan hidup pribadi dan keluarga. 3. Sarana untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan barang dan jasa secara umum. 4. Sebagai persediaan untuk generasi yang akan datang. Kaidah kaidah produksi yang perlu diperhatikan dalam Islam adalah: 1. Memproduksi barang dan jasa yang halal pada setiap tahapan produksi. 2. Mencegah kerusakan di muka bumi, termasuk membatasi polusi, memelihara keserasian, dan ketersediaan sumber daya alam. 3. Produksi dimaksud untuk memenuhi kebutuhan individu dan masyarakat serta mencapai kemakmuran. 4. Produksi dalam islam tidak bisa dipisahkan dari kemandirian umat. 5. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia, baik kualitas, spiritual, mental dan fisik. Menurut Yusuf Qardawi, faktor produksi yang utama menurutu Al Quran adalah alam dan kerja manusia. Fungsi manusia adalah sebagai khalifah di bumi. Khalifah ini diberi amanah oleh Allah untuk memakmurkan bumi. Produksi merupakan perpaduan harmonis antara alam dengan manusia. Sesuai dengan Firman Allah dalam Al Quran suarh Huud:61. “Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya, karna itu mohonlah ampunan_Nya, kemudian bertaubatlah kepadan_Nya, sesungguhnya Tuhanku amat dekat (rahmat_Nya) lagi memperkenankan (doa hamba_Nya).” (QS:Huud:61 FUNGSI PRODUKSI Fungsi produksi adalah hubungan teknis antara faktor produksi (input) dan hasil (output). Hal ini berarti bahwa produksi hanya bisa dilakukan dengan mempergunakan faktor produksi. Q = f (Labor, capital, technology, natural resource, enterprenuership) Perbedaan ekonomi islam dengan ekonomi konvensional adalah pada filosofi ekonomi yang dianutnya dan bukan pada ilmu ekonominya. Filosofi ekonomi memberikan ruh pemikiran dengan nilai nilai Islam dan batasan batasan syariah, sedangkan ilmu ekonomi berisikan alat alat analisis ekonomi yang dapat digunakan. Dengan kerangka ini maka alat alat produksi dalam ekonomi Islam tidak berbeda dengan faktor produksi dalam ekonomi konvesional. KONSEP PRODUKSI MENURUT AL QURAN DAN HADIS 1. Tugas manusia di muka bumi sebagai khalifah Allah adalah memakmurkan bumi dengan ilmu dan amalnya. 2. Islam selalu mendorong kemajuan di bidang produksi. Menurut yusuf qordawi, islam membuka lebar penggunaan metode ilmiah yanh di dasarkan pada penelitian, eksperiemen, dan perhitungan. 3. Teknik produksi diserahkan kepada keinginan dan kemampuan manusia Rasulullah bersabda “Kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian.” (HR.Muslim) 4. Dalam berinovasi dan bereksperimen, pada prinsipnya Islam menyukai kemudahan, menghindari mudharat, dan memaksimalkan manfaat. Faktor faktor produksi yang dikenal antara lain: a. Alam b. Tenaga kerja c. Keahlian d. Modal Produksi yang baik dan berhasil ialah produksi yang dengan menggunakan faktor faktor tersebut bisa menghasilakan barang sebanyak banyaknya dengan kualitas semanfaat mungkin.  Faktor Alam Dianggap sebagai suatu faktor produksi penting mencakup semua sumber daya alam yang digunakan dalam proses produksi  Faktor Tenaga Kerja Tenaga kerja adalah sesungguhnya satu satunya faktor produksi, karna dengan tenaga kerjanya manusia dapat merubah apa yang terdapat pada alam, dari suatu kemampuan produksi menjadi hasil hasil pertanian serta menambah produksi barang barang dan jasa dalam industri yang merupakan sumber kekayaan bangsa. Islam mengangkat tenaga kerja dan menyuruh orang bekerja baik bekerja untuk mencapai penghidupan yang layak untuk menghasilakn barang barang serta jasa yang menjadi keperluan manusia maupun amal yang bersifat ibadah semata mata kepada Allah.

Selasa, 12 Juni 2012

Mudzarra'ah Mukhobarah

PEMBAHASAN MUZAARA’AH DAN MUKHAABARAH A. Pengertian Muzaara’ah dan Mukhaabarah Secara etimologi, Muzaara’ah berarti kerjasama di bidang pertanian antara pemilik lahan dengan petani penggarap dengan benih dari dari pihak pemilik tanah. Pembagian hasilnya menurut kesepakatan kedua belah pihak. Sedangkan Mukhaabarah adalah kerjasama antara pemilik sawah atau ladang dengan penggarap dan benihnya dari pihak penggarap (petani). Pembagian hasil menurut kesepakatan kedua belah pihak secara adil. Sedangkan dalam terminologi fiqh terdapat beberapa definisi muzaara’ah yang dikemukankan oleh ulama fiqh. Ulama mazhab Maliki mendefinisikan muzaara’ah: اَلشِّركَةُ فِي الزَّرْعِ “perserikatan dalam pertanian” Menurut ulama Mazhab Hanbali: دَفْعُ الأرض إِلَى مَنْ يَزْرَعُهَا أَوْيَعْمَلُ عَلَيْهَا وَالزَّرْ عُ بَيْنَهُمَا “Penyerahan tanah kepada orang yang akan bercocok tanam atau mengelolanya, sedangkan tanaman (hasilnya) tersebut dibagi di antar keduanya” Menurut ulama Syafi’i membedakan antara Muzaara’ah dan Mukhaabarah: اَلْمُخَابَرَةُهِيَ عَمَلُ الْاَرْضِ بِبَعْضِ مَا يَخْرُجُ مِنْهَا وَالْبَذْرُمِنَ الْعَا مِلِ. وَالْمُزَارَعَةُ هِيَ اَلْمُخَا بَرَةُ وَلَكِنَّ الْبَذْرَفِيهَا يَكُوْنُ مِنَ الْمَا لِكِ. “Mukhaabarah adalah mengelola tanah di atas sesuatu yang dihasilkannya dan benihnya berasal dari pengelola. Adapun muzaara’ah, sama seperti mukhaabarah hanya saja benihnya berasal dari pemilik tanah.” Dalam masalah ini, Muzaara’ah dan Mukhaabarah mempunyai pengertian yang sama, dan yang dipersoalkan hanya mengenai bibit pertanian itu. Muzaara’ah bibitnya berasal dari pemilik lahan dan Mukhaabarah bibitnya berasal petani penggarap. B. Landasan Hukum Muzaara’ah dan Mukhabarah Dalam membahas Muzaara’ah dan Mukhaabarah terjadi perbedaan pendapat dikalangan para ulama. Imam Abu Hanifah dan Zufair ibn Huzail pakar Fiqh Hanafi, berpendapat bahwa akad Muzaara’ah tidak dibolehkan. Menurut mereka akad Muzaara’ah dengan bagi hasil, seperti seperempat dan seperdua hukumnya batal. Alasan Imam Abu Hanifah dan Zufair Ibn Huzaial adalah sebuah hadis berikut: أنَّ رَسُوْلَﷲِ صلعم عَنِ الْمُخَا بَرَةِ ﴿روه مسلم Artinya: “Rasulullah Saw. Yang melarang melakukan al-mukhaabarah. (HR. Muslim dari Jabir Ibn Abdillah) Al-Mukhabarah dalam sabda Rasulullah Saw itu adalah Al-Muzaara’ah, sekalipun dalam Mukhaabarah bibit yang ditanam berasal dari pemilik tanah. Dari riwayat Sabit Ibn Adh-Dhahhak dikatakan: أنَّ رَسُوْلَﷲِ صلعم عَنِ الْمُزَ رَعَةِ ﴿روه مسلم ﴾ Artinya: “Rasulullah Saw. melarang al-muzaara’ah”. (HR. Muslim) Menurut mereka, obyek akad dalam Muzaara’ah belum ada dan tidak jelas kadarnya, karena yang dijadikan imbalan untuk petani adalah hasil pertanian yang belum ada (al-ma’dun) dan tidak jelas (al-jahalah) ukurannya, sehingga keuntugan yang akan dibagi sejak semula tidak jelas. Boleh jadi pertanian itu tidak menghasilkan sehingga petani tidak mendapatkan apa-apa dari hasil kerjanya. Obyek akad yang bersifat al-ma’dun dan al-jahalah inilah yang membuat akad ini tidak sah. Ulama mazhab Syafi’I juga mengatakan akad itu tidak sah, kecuali apabila Muzaara’ah itu mengikat pada akad Musaaqah (kerjasama pemilik kebun dengan petani dalam mengelola pepohonan yang ada dikebun itu, yang hasilnya nanti dibagi menurut kesepakatan bersama). Mislanya apabila terjadi kerjasama dalam pengolahan perkebunan, kemudian ada tanah kosong yang boleh dimanfaatkan untuk muzaara’ah (pertanian) maka menurut ulama syafi’i akad muzaara’ah boleh dilakukan. Akad ini tidak berdiri sendiri tetapi tidak mengikat pada akad musaaqah. Mazhab Maliki, Hanbali, Imam Abu Yusuf, Muhammad Ibn Al-Hasan As-Syaibarni (keduannya sahabat Abu HAnifah) dan ulama Azh-Zhahiri berpendapat bahwa akad Muzaara’ah hukumnya boleh, karena aldnya cukup jela. Yaitu ada kerjasama anatara pemilik lahan dengan petani sebagai pengelola. Mereka beralaskan Hadis Rasulullah: عَنِ ابْنِ عُمَرُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّ ﷲُعَلَيْهِ وَسَلّمَ: عَا مَلَ أَهْلَ خَيْبَرَبِشَرْط مَا يَخْرُ جُ مِنْ ثَمَرٍأَوْزَرْعٍ ﴿روه مسلم﴾ Artinya: Dari Ibnu Umar”Sesungguhanaya Nabi Saw. Telah memberikan kebun beliau kepada penduduk Khaibar agar mereka pelihara dengan perjanjian mereka akan diberi sebagian penghasilan, baik dari buah-buahan maupun dari hasil tanaman (palawija). (HR. Muslim). Menurut mereka, akad ini bertujuan untuk saling membantu antara petani dengan pemilik tanah pertanian. Pemilik tanah tidak mampu untuk mengerjakan tanahnya, sedangkan petani tidak mempunyai tanah pertanian. Oleh sebeb itu, wajar apabila antara pemilik tanah persawahan bekerjasama dengan petani penggarap, dengan ketentuan bahwa hasilnya mereka bagi sesuai dengan kesepekatan bersama. Menurut ulama Maliki dan Hanbali, akad seperti ini termasuk kedalam firman Allah: ...وَتَعَاوَنُوْاعَلَ الْبِرِّوَالتَّقْوَوَلَاتَعَا وَنُوْاعَلَ الْإِثْمِ والْعُدْوَانِ... ﴿الماٮٔدة:٢﴾ “…tolong menolonglah kamu atas kebajikan dan ketaqwaan dan jangan tolong menolong dalam bebuat dosa dan permusuhan…” (Al-Maidah:2) Setelah diperhatika, perbedaan pendapat terjadi karena berbeda dalam memahami hadis tersebut diatas. C. Rukun Muzaara’ah dan Mukhaabarah Ada beberapa rukun yang harus dipenuhi dalam akad Muzaara’ah dan Mukhaabarah, agar akad itu menjadi sah. 1. Pemilik lahan 2. Petani penggarap 3. Obyek muzaara’ah yaitu antara manfaat lahan dari hasil kerja pengelola 4. Ijab dan qabul Ijab (ungkapan peyerahan tanah dari pemilik tanah) dan qabul (peryataan menerima tanah untuk digarap dari petani). Secara sederhana ijab dan qabul cukup dengan lisan saja. Namun, sebaiknya dapat dituangkan dalam surat perjanjian yang dibuat dan disetujui bersama, termasuk bagi hasil (persentase kerjasama itu). D. Syarat-syarat Muzaara’ah dan Mukhaabarah Menurut jumhur ulama, syarat-syarat muzaara’ah dan mukhaabarah ada yang berkaitan dengan orang yang berakad, benih yang akan ditanam, lahan yang akan dikerjakan, hasil yang akan dipanen dan jangka waktu berlaku akad. 1. Syarat yang berkaitan dengan orang yang melakukan akad, harus baligh dan berakal. 2. Syarat yang berkaitan dengan benih-benih harus jelas. 3. Syarat yang berkaitan dengan lahan pertanian adalah: a. Menurut akad kebiasaan dikalangan petani, lahan itu bisa diolah dan menghasilkan. Sebab, ada tanaman yang tidak cocok ditanami pada daerah tertentu. b. Batas-batas lahan itu jelas c. Lahan itu diserahkan sepenuhnya kepda petani untuk diolah dan pemilik lahan tidak boleh ikut campur tangan untuk mengolahnya. 4. Syarat-syarat yang berkaitan dengan hasil: a. Pembagian hasil panen harus jelas (persentasenya) b. Hasil panen itu benar-benar milik bersama orang yang berakad, tanpa ada pengkhususan seperti disisihkan dahulu sekian persen. Persyaratan ini pun sebaiknya dicantumkan dalam perjanjian, sehingga tidak timbul perselisihan dibelakang hari, terutama sekali lahan yang dikelola itu sangat luas. 5. Syarat-syarat yang berkaiatan dengan waktu pun harus jelas di dalam akad, sehingga pengelola tidak dirugikan, seperti membatalakan akad sewaktu-waktu. Untuk menetukan jangka waktu ini biasanya disesuaikan dengan adat kebiasaan setempat. 6. Syarat yang berhubungan dengan objek akad, juga harus jelas pemanfaatnya benihnya, pupuknya dan obatnya, seperti yang berlaku pada daerah setempat. Imam Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan Ash-Syaibani menyatakan, bahwa dilihat dari segi syah akad muzaara’ah, maka ada 4 bentuk muzaara’ah : a) Apabila lahan dan bibit dari pemilik lahan, kerja dan alat dari petani, sehingga yang menjadi objek muzaraa’ah adalah jasa petani, maka hukumnya sah. b) Apabila pemilik lahan hanya menyediakan lahan saja, sedang kan petani menyediakan bibit, alat dan kerja, sehingga yang menjadi objek muzaara’ah adalah manfaat lahan, maka akad muzaara’ah dipandang sah. c) Apabila lahan, alat dan bibit dari pemilik lahan dan kerja dari petani, maka akad muzara’ah juga sah. d) Apabila lahan pertanian dan alat disediakan pemilik lahan, sedangkan bibit dan kerja disediakan petani maka akad itu tidak sah. Mereka beralasan, apabila alat pertanian dari pemilik lahan, maka akad menjadi rusak, karena alat pertanian tidak bisa mengkat pada lahan. Menurut mereka, manfaat alat pertanian itu tidak sejenis dengan manfaat lahan, karena lahan adalah untuk menghasilkan tumbuhan dan buah, sedangkan manfaat alat hanya untuk mengolah lahan saja. Alat pertanian seharusnya mengikat kepada petani penggarap, buka pada pemilik penggarap. E. Zakat Muzaara’ah dan Mukhaabarah Zakat hasil paroan sawah atau ladang ini diwajibkan atas orang yang punya benih, jadi pada muzaara’ah, zakatnya wajib atas petani yang bekerja, karena pada hakekatnya dialah yang bertanam, yang punya tanah seolah – olah mengambil sewa tanahnya, sedangkan penghasilan sewaan tidak wajib dikeluarkan zakatnya. Sedangkan pada mukhaabarah, zakat diwajibkan atas yang punya tanah karena pada hakekatnya dialah yang bertanam, petani hanya mengambil upah bekerja. Penghasilan yang didapat dari upah tidak wajib dibayar zakatnya. Kalau benih dari keduanya, maka zakat wajib atas keduanya, diambil dari jumlah pendapatan sebelum dibagi. F. Akad Muzaara’ah dan Mukhaabarah Berakhir Akad muzaara’ah dan mukhaabarah berakhir apabila : 1. Apabila jangka waktu yang disepakati berakhir. Apabila jangka waktunya sudah habis, sedangkan panen belum dilaksanakan karena belum layak panen, maka ditunggu sampai panen selesai, walau sudah jatuh tempo. 2. Menurut Ulama mazhab Hanafi dan Hambali, apabila salah seorang berakad wafat, maka akad muzaara’ah dan mukhaabarah berakhir. Tetapi Ulama mazhab Maliki dan Syafi’I berpendapat, bahwa akad itu tidak berakhir dan dapat diteruskan oleh ahli warisnya. 3. Ada uzur salah satu pihak yang menyebabkan mereka tidak dapat melanjutkan akad muzaara’ah dan mukhaabarah tersebut seperti : a) Pemilik lahan tersebut terlibat hutang, sehingga lahan itu harus dijual. Apabila pembatalan itu tidak dapat diselesaikan oleh kedua belah pihak, maka pembatalannya harus melalui campur tangan hakim. Apabila lahan itu hampir panen, maka lahan itu baru dapat dijual setelah selesai panen. Dalam hal ini pemilik lahan juga harus memperhitungkan jangan sampai petani dirugikan. Umpamanya, lahan itu baru ditanam dan kemudian dijual oleh pemilik lahan. Kebijaksanaan harus ada, karena petani tidak mendapatkan bagian dari hasil petani itu. b) Petani uzur, seperti sakit atau berpergian ketempat jauh yang memungkinkan dia melaksanakan tugasnya sebagai petani.   BAB III PENUTUP A. Simpulan Muzaara’ah ialah mengerjakan tanah (orang lain) seperti sawah atau ladang dengan imbalan sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga atau seperempat). Sedangkan biaya pengerjaan dan benihnya ditanggung pemilik tanah. Mukhabarah ialah mengerjakan tanah (orang lain) seperti sawah atau ladang dengan imbalan sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga atau seperempat). Sedangkan biaya pengerjaan dan benihnya ditanggung orang yang mengerjakan atau petani penggarap. Muzara’ah dan mukhabarah terdapat pembagian hasil. Untuk hal-hal lainnya yang bersifat teknis disesuaikan dengan syirkah yaitu konsep bekerja sama dalam upaya menyatukan potensi yang ada pada masing-masing pihak dengan tujuan bisa saling menguntungkan. B. Saran Semoga dengan adanya tulisan ini dapat menambah wawasan kami (penulis) khususnya dan para pembaca pada umumnya. Kami menyadari bahwa dalam tulisan ini masih banyak terdapat kekurangan dan kelemahan, baik dalam penulisan kata, tanda baca, maupaun tata bahasa yang digunakan dalam tulisan ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca demi memperbaiki tulisan kami dikemudian hari. Semoga dengan adanya tulisan ini dapat menambah wawasan dan ilmu para pembaca terutama mahasiswa semester IV program studi Syar’ah jurusan Ekonomi Islam 2012.   DAFTAR PUSTAKA M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Isam (Fiqh Mu’amalat), PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004 Dr. H. Nasrun Haroen, MA, Fiqh Muamalah, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2007. Dr. Rachmat Syafi’I, MA, Fiqh Muamalah, CV Pustaka Setia, Bandung, 2001

Rabu, 23 Mei 2012

TIME VALUE OF MONEY Vs ECONOMIC VALUE OF TIME

                                                        Latar Belakang

Teori keuangan konvensional mendasarkan argumennya dengan konsep time value of money. Dalam kesempatan ini, kita akan membantah validasi konsep time value of money tersebut dengan mengajukan konsep yang lebih tepat, yang dinamakan dengan economic value of time. Melalui konsep ini, kita akan memberikan argumentasi ekonomi atas pelarangan riba dalam islam. Karena islam tidak mengenal konsep TIME VALUE OF MONEY  yang artinya nilai uang untuk masa yang akan datang. Islam hanya mengenal ECONOMIC VALUE OF TIME yang bernilai adalah waktu itu sendiri. Hal ini menjelaskan mengapa islam membolehkah deferred paymen pada barang dagangan harga barang kridit lebih tinggi dari pada pada pembelian tunai. Bukanlah semata mata karena uang, akan tetapi lebih kepada waktu yang telah dialokasikan,menagih pembayaran menimbulkan biaya tersendiri.

A.    Pengertian Time Value of Money
Time value of money adalah sebuah konsep nilai uang yang dimiliki lebih berharga dibandingkan nilai uang masa yang akan datang. Uang yang dipegang saat ini lebih bernilai karena dapat berinvestasi dan bisa mendapatkan bunga, atau nilai uang yang berubah (cenderung menurun) dengan berjalannya waktu. Sejumlah uang yang diterima oleh investor untuk penggunaanya diluar modal awal itu dinamakan bunga (interest), sedangkan modal awal yang diinvestasikan sering disebut principal. Konsep ini dikembangkan oleh Von Bhom-Bawerk dalam capital in interest dan positive theory of capital memang memang menyebutkan bahwa positive time preference merupakan pola ekonomi yang normal, sistematis dan rasional. Diskonto dalam positive time preference ini biasanya didasarkan pada tingkat suku bunga.
Konsep utama TVM adalah bahwa nilai penerimaan pembayaran dimasa depan dapat konversi kenilai setara hari ini. Sebaliknya, kita dapat menentukan nilai uang yang akan tumbuh dimasa depan. Dapat dihitung kelima jika diberi empat dari: suku bunga, jumlah periode, dan pembayaran, present value, dan future value.
B.    Konsep Economic Value of Time
Teori economic value of time berkembang pada abad ke-7 masehi. Pada masa saat digunakannya emas dan perak sebagai alat tukar. Logam ini diterima sebagai alat tukar disebabkan nilai intrinsiknya, bukan karena mekanisme untuk dikembangkan, sehingga hubungan debetur/kreditur yang muncul bukan kerena akibat transaksi secara lansung, namun jelas merupakan transaksi “permintaan uang”.
Dalam pandangan islam mengenai waktu, waktu bagi semua orang adalah sama kuantitasnya, yaitu 24 jam dalm sehari, 7 hari dalm seminggu. Nilai waktu antara satu orang dengan orang yang lainnya, akan berbeda dari sisi kualitasnya. Jadi, faktor yang menentukan nilai waktu adalah bagaimana seseorang itu bisa memanfaatkan waktu itu sendiri.
Dalam ekonomi islam, penggunaan sejenis discount rate dalam menentukan harga bai’ mu’ajjal (membayar tangguh) dapat digunakan. Hal ini dibenarkan karena:
1.    Jual beli dan sewa menyewa adalah sektor rii yang menimbulkan economic value added (nilai tambah ekonomis)
2.    Tertahannya hak si penjual (uang pembayaran) yang telah melaksanakan kewajiban (menyerahkan barang atau jasa), sehingga ia tidak dapat melaksanakan kewajibannya kepada pihak lain.
Ajaran islam medorong pemeluknya untuk selalu mengenvestasikan tabungannya. Di samping itu, dalam melakukan investasi tidak menuntut secara pasti akan hasil yang akan datang. Hasil investsi dimasa yang akan datang sangat dipengaruhi beberapa  faktor, baik faktor yang dapat diprediksikan maupun tidak. Faktor faktor yang dapat dipredikskan atau dihitung sebelumnya adalah: berapa banyak modal, berapa nisbah yang disepakati, berapa kali modal dapat diputar. Sementara faktor efeknya tidak dapat dihitung secara pasti atau sesuai dengan kejadian adalah return (perolehan usaha).
Berdasarkan hal di atas, maka dalam mekanisme investasi menurut islam, persoalan nilai waktu uang yang diformulasikan dalam bentuk bunga adalah tidak diterima (ditolak). Dengan demikian, perlu dipikirkan bagaimana formula pengganti yang seiring dengan nilai dan jiwa islam. Hubungan formula tersebut dapat ditemukan formula investasi menurut pandangan islam sebagai berikut:


Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih, (QS. At Taubah ayat : 34 ).
"Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat dan Dia-lah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.(QS. Luqman ayat : 34)

Dari ayat di atas, sungguh sangat jelas bahwa kita tidak akan mengetahui apa apa yang akan terjadi dihari esok. Oleh sebab itu, konsep time value of money di tolak dalam ekonomi islam.
 Hal ini juga di pertegas dalam sebuah hadis yang berbunyi : Rasulullah Saw bersabda. Waktu itu seperti pedang, jika kita tidak bisa menggunakan dengan baik, maka ia akan memotong kita.
Menurut Sayyid Qutb Waktu itu hidup. Namun, penghargaan islam terhadap waktu itu tidak diwujudkan dalam rupiah tertentu atau persentase bunga tetap.

C.    Kritikan Ekonomi Islam Terhadap Time Value Of Money

Sebagian besar teori tentang manajemen keuangan dibangun berdasarkan konsep nilai dan waktu dari uang yang mengasumsikan bahwa nilai uang sekarang relatif lebih besar ketimbang dimasa yang akan datang. Sedangkan di sisi lain, tidak didapati penjelasannya dalam fiqh dan mu’amlah meskipun perdebatan tentang jual beli tangguh (ba’i mu’ajjal) termasuk diskusi yang tidak sedikit diantara para ulama. Namun, di dalam islam, keuntungan bukan saja keuntungan di dunia, namun yang di cari adalah keuntungan dunia dsn akhirat. Oleh sebab itu, pemanfaatan waktu itu bukan saja harus efektif efisien , namun ia juga harus didasari dengan keimanan. Keimanan inilah yang akan membawa keuntungan di akhirat, sebaliknya, iman yang tidak mampu mendatangkan keuntungan di dunia berarti ada hal hal yang belum di amalkan.
Dalam ekonomi konvensional time value of money di definisikan sebagai. “a dollar today worth more than a dollar in the future because a dollar today be invested to get a return .( satu dolar hari ini lebih berharga dari satu dolar di masa mendatang karena satu dolar hari ini dapat diinvestasikan untuk mendapatkan kembali.)
Definisi ini tidak akurat karena setiap investasi selalu mempunyai kemungkinan untuk mendapat positive, negative atau no return. Itu sebabnya dalam  teori finance, selalu dikenal risk retunt relationship.
Bagi ekonomi konvensional ada 2 hal yang menjadi alasan intuisi mereka akan konsep time value of money:
a.    Presence of inflation
Katakanlah tingkat suku bunga inflasi 10% per tahun. Seseorang dapat membeli es potong hari ini dengan membayar sejumlah Rp. 10.000,_. Namun  bila ia membelinya tahun depan, dengan jumlah uang yang sama yaitu Rp. 10.000,_ ia hanya dapat membeli sembilan es potong.  Oleh karena itu ia akan meminta kompensasi untuk hilangnya daya beli uangnya akibat inflasi.
b.    Preference present consumption to future consumption
Bagi umunya individu, present lebih disukai dari pada future consumption. Katakanlah tidak ada tingkat inflasi, sehingga dengan uang Rp. 10.000,_ seseorang tetap bisa membeli sepuluh buah es potong saat ini maupun tahun depan. Bagi kebanyakan orang, mengkonsumsi  sepuluh buah es potong saat ini lebih disukai daripada mengkonsumsi sepuluh buah es potong tahun depan. Dengan argumentasi ini, meskipun suatu perekonomian tingkat inflasinya tidak ada, seseorang lebih menyukai Rp. 10.000,_ saat ini dan mengkonsumsi saat ini juga. Oleh karena itu untuk menunda konsumsi, ia meminta kompensasi.
Argumen yang pertama tidak dapat di terima karena tidak lengkap kondisinya. Dalam setiap perekonomian selalu ada keadaan inflasi  dan deflasi.  Bila keadaan inflasi menjadi alasan adanya time value of money, seharusnya keberadaan deflasi menjadi alasan adanya negative time value of money. Katakanlah tingkat deflasi 10 & per tahun. Seseorang dapat membeli 10 buah es potong saat ini dengan jumlah Rp. 10.000,_. Namun bila ia membelinya tahun depan dengan jumlah uang yang sama yaitu Rp. 10.000,_, ia dapat membeli sebelas buah es potong.  Oleh karena itu, ia akan memberi kompensasi untuk naiknya daya beli uangnya akibat deflasi . Inikah yang berlaku? Ternyata tidak. Hanya satu kondisi saja yang diakomodir oleh konsep time value of money, yaitu kondisi inflasi. Sedangkan kondisi deflasi diabaikan.
Untuk argumen yang yang kedua akan di jelaskan di bawah ini:
Ketidak pastian Laba
Sebenarnya dalam ekonomi konvensional, penerapan time value of mone tidak senaif yang dibayangkan, misalnya dengan mengabaikan ketidak pastian return yang akan diterima. Bila unsur ketidakpastian return ini dimasukkan, ekonomi konvensioanal menyebut kompensasinya sebagai discound rate. Jadi, istilah discound rate lebih bersifat umum dibandingkan istilah interest rate .

Certainty of Return: Kepastian akan Keuntungan    Uncertainty of Return: Ketidakpastian dari Keuntungan.
Disebut interest rate: suku bunga    Disebut discound rate: tingkat diskonto
Real interest rate ditentukan oleh preferensi current consumption (Tingkat bunga riil ditentukan oleh preferensi konsumsi saat ini)  
Nominal interest rarte = real interest rate+expected inflation (tingkat bunga riil, inflasi yang diharapkan)  
    Discound rate= real interest rate+ expected inflation + premium for uncertainty: tingkat bunga riil diperkirakan inflasi, premium bagi ketidakpastian

Jadi, dalam ekonomi konvensional ketidakpastian return dikonversi menjadi suatu kepastian melalui premium for uncertainty. Dalam setiap investasi tertentu selalu ada probabiliti untuk mendapatkan positif return, negatif return, dan no return. Adanya probabiliti inilah yang menimbulkan uncertainty (ketidakpastian) dengan sesuatu yang pasti, yaitu premium for uncertainty.

Katakanlah probabiliti positive return dan negative return masing masing sebesar 0,4; sedangkan probabiliti no return sebesar 0,2. Yang dilakukan dalam perhitungan discound rate adalah mempertukarkan probabiliti negative return (0,4) dan probabiliti no return (0,2) ini dengan premium for uncertainty, sehingga yang tersisa tinggal probabiliti untuk positive return (1,0).

keadaan    Natural Uncertainty
(Probability)    Discound Rate
(Probability)
Positive Return
No Return
Negative Return    0,4
0,2
0,4    1,0
0,0
0,0

Keadaan inilah yang ditolak dalam ekonomi islam syari’ah, yaitu keadaan al ghunmu bi la ghurmi (gaining return without responsible for any risk) dan al kharaj bi la dhaman (gaining income without responsible for any expense). Sebenarnya keadaan ini juga ditolak oleh teori finance, yaitu dengan menjelaskan adanya hubungan antara risk dan return.
Dalam ekonomi syariah, penggunaan sejenis discound rate dalam menentukan harga mu’ajjal (bayar tangguh) dapat digunakan. Hal ini dapat dibenarkan:
1.    Jual beli dan sewa menyewa adalah transaksi yang termasuk dalam sektro riil yang menimbulkan economic value added (nilai tambah ekonomis).
2.    Tertahannya hak sipenjual (uang pembayaran) yang telah melaksanakan kewajibannya (menyerahkan barang atau jasa), sehingga ia tidak dapat melaksanakan kewajibannya kepada pihak lain
Discound rate dapat pula digunakan dalam menentukan nisbah bagi hasil. Dalam hal ini, nisbah dikalikan dengan actual return, bukan dengan expected return. Transaksi bagi hasil berbeda dengan transaksi jual beli atau transaksi sewa menyewa, karena dalam transaksi bagi hasil hubungannya bukan antara penjual dan pembeli, atau penyewa dan yang menyewakan. Yang ada adalah hubungan antara pemodal dan yang memproduktifkan modal tersebut. Jadi, tidak ada pihak yang telah melaksanakan kewajibannya, tapi masih tertahan haknya. Sipemodal telah melaksanakan kewajibannya, yaitu memberikan sejumlah modal, yang memprodukifkan modal juga telah melaksankan kewajibannya, yaitu memproduktifkan modal tersebut. Hak bagi mereka berdua akan timbul ketika usaha memproduktifkan modal tersebut telah menghasilkan pendapatan atau keuntungan tersebut. Sesuai dengan kesepakantan awal, apakah bagi hasil itu itu akan dilakukan berdasarkan pendapatan (ravanue sharing) atau berdasarkan keuntungan. (profit sharing)

Certainty in Return     Uncertainty in Return
conventional    Islamic     conventional    islamic
Interest rate ditentukan oleh:
1.    Preferensi current consumption
2.    Expected inflation    Keuntungan dalam jual beli/sewa secara tangguh bayar ditentukan oleh:
1.    Tingkat keuntungan setiap kali transaksi
2.    Frekuansi transaksi dalam satu periode    Discound rate ditentukan oleh:
1.     Preferensi   current consumption
2.    Expected inflation
3.    Premium for uncertainty
Dengan kata lain, actual return dipaksakan harus sama denga expected returnnya.    Discound rate ditentukan atas dasar ekspektasi keuntungan, dan digunakan untuk menentukan nisbah bagi hasil. Bagi hasil yang harus dibayar adalah nisbah bagi hasil yang dikalikan dengan actual returnnya. Dengan kata lain actual returnya tidak harus sama dengan expected returnnya.


D.     PERBEDAAN TIME VALUE OF MONEY dan ECONOMIC VALUE OF TIME

Disini kita lebih mengambil dari perbedaan secara umum, maksudnya tidak hanya perbedaan pada time value of money dan economic value of time.  Akan tetapi pada penerapan ekonomi islam dan ekonomi konvensionalnya. Ada beberapa perbedaan dalam time value of money dan economic value of time yaitu:
1.    Rasionaliti ekonomi konvensional adalah rational economice man adalah tindakan individu dianggap rasional jika tertumpu kepada kepentingan diri sendiri (self interest) yang menjadi satu-satunya tujuan bagi seluruh aktivitas. Ekonomi konvensional mengabaikan moral dan etika dalam pembelanjaan dan unsur waktu adalah terbatas hanya di dunia saja tanpa mengambilkira hari akhirat. Sedangkan dalam ekonomi Islam jenis manusia yang hendak dibentuk adalah Islamic man (‘Ibadurrahman), (QS 25:63). Islamic man dianggap perilakunya rasional jika konsisten dengan prinsip-prinsip Islam yang bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang seimbang. Tauhidnya mendorong untuk yakin, Allah-lah yang berhak membuat rules untuk mengantarkan kesuksesan hidup. Ekonomi Islam menawarkan konsep rasionaliti secara lebih menyeluruh tentang tingkah laku agen-agen ekonomi yang berlandaskan etika ke arah mencapai al-falah, bukan kesuksesan di dunia malah yang lebih penting lagi ialah kesuksesan di akhirat.
2.    Tujuan utama ekonomi Islam adalah mencapai falah di dunia dan akhirat, sedangkan ekonomi konvensional semata-mata kesejahteraan duniawi.
3.    Sumber utama ekonomi Islam adalah Al-Quran dan Al-Sunnah atau ajaran Islam. Berbeda dengan ekonomi konvensional yang berdasarkan pada hal-hal yang bersifat positivistik.
4.    Islam lebih menekankan pada konsep need daripada want dalam menuju maslahah, karena need lebih bisa diukur daripada want. Menurut Islam, manusia mesti mengendalikan dan mengarahkan want dan need sehingga dapat membawa manfaat dan bukan madarat untuk kehidupan dunia dan akhirat.
5.    Orientasi dari keseimbangan konsumen dan produsen dalam ekonomi konvensional adalah untuk semata-mata mengutamakan keuntungan. Semua tindakan ekonominya diarahkan untuk mendapatkan keuntungan semaksimal mungkin. Jika tidak demikian justru dianggap tidak rasional. Lain halnya dengan ekonomi Islam yang tidak hanya ingin mencapai keuntungan ekonomi akan tetapi juga mengharapkan keuntungan rohani dan al-falah. Keseimbangan antara konsumen dan produsen dapat diukur melalui asumsi asumsi secara jelas. Memang untuk mengukur pahala dan dosa seorang hamba Allah, tidak dapat diukur dengan uang, akan tetapi hanya merupakan ukuran seberapa besar dan taat kita kepada Allah.
 KESIMPULAN

Pentingnya sebuah konsep Time Value Of Money dalam pengelolaan keuangan sehingga hal in dapat digunakan untuk membandingkan alternatif investasi dan untuk memecahkan masalah yang melibatkan pinjaman, sewa, tabungan dan anuitas. Time Value Of Money didasarkan konsep bahwa nilai uang yang dimilki saat ini adalah lebih besar/berharga daripada nilai uang yang akan diterima satu dolar dimasa depan uang yang dipegang saat ini bernilai lebih karena dapat berinvestasi dan bisa mendapatkan bunga.
dalam islam tdak mengenal adanya time value of money. Yang dikenal adalah economic value of time. teori time value of money adalah sebuah kekeliruan besar karena mengambal dari ilmu teori pertumbuhan populasi dan tidak ada di ilmu finance. dalam menghitung pertumbuhan populasi digunkan rumus:



rumus ini kemudian di adobsi begitu saja dalam ilmu finance sebagai teori bunga majemuk menjadi:


jadi, future value dari uang dianalogikan dengan jumlah populasi tahunke-t, present value dari uang dianalogikan ddengan jumlah populasi tahun ke-0, sedangkan tingka suku bunga dianalogikan dengan tngkat pertumbuhan populasi. Jelas in sangat keliru besar, karena uang bukanlah makhluk hidup yang dapat berkembang biak dengan sendirinya. Waktu adalah pedang, kata pada “pedang” menggambarkan betapa waktu itu sangat berharga. Bukan berati wajtu itu bisa dinilai dengan rupiah atau satuan apapun. Dalam islam kita tidak hanya beorientasi pada keuntungan, akan tetapi mengharapkan keuntungan pada ridho Allah. Islam juga mengajarkan kita untuk mengendalikan kebutuhan dari pada keinginan, jangan sampai kita yang dikendalikan.  Dalam ekonomi islam landasan yang dipakai adalah Al Quran dan Al Hadist, sedangkan ekonomi konvensional lebih pada positivistik. Dalam ekonomi islam tujuan yang ingin dicapai bukan hanya dunia saja, tapi akhirat juga. Sedangkan ekonomi konvensional hanya bertujuan senang didunia saja. Mereka menganggap seakan akan akhirat itu hanya dongeng yang dibacakan oleh orang tua untuk anaknya saat mau tidur.
DAFTAR PUSTAKA


Karim, Ir. Adiwarman. 2009, Bank Islam, Ed 3-6, Jakarta: Rajawali Pers.

Karim, Ir. Adiwarman. 2007, Ekonomi Makro Islami, Ed 2, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Mun’im, Fathan, 2008, Selayang Pandang, Ekonomi Islam & Perbankan Syariah, Pontianak: STAIN Pontianak Press.

Hidayat, Muhammad, MBA. 2010, an Intoduction to THE SHARIA ECONOMIC, Jakarta: Zikrul Hakim (Anggota IKAPI)
(Dikutip dan diselaraskan dari http://jacksite.wordpress.com/2007/04/24/hukum-harga-tangguh-time-value-of-money-dalam-islam/ pada tanggal 12 oktober 2011)
http://www.wikimu.com/News/DisplayNews.aspx?id=12023
http://muhsinhar.staff.umy.ac.id/?p=1505
(dikutip dan diselaraskan dari http://nurkholis77.staff.uii.ac.id/perbedaan-mendasar-ekonomi-islam-dan-ekonomi-konvensional/
(Dikutip dan diselaraskan dari http://yunada.student.umm.ac.id/2010/12/02/time-value-of-money-vs-economic-value-of-time-3/)
(Dikutip dan diselaraskan dari http://haryono_putro.staff.gunadarma.ac.id/




Minggu, 13 Mei 2012

MURABBAHAH

                                                                    BAB I
Pendahuluan

A.    Latar Belakang
Keinginan masyarakat untuk membeli barang semakin banyak. Namun tidak sedikit dari mereka merasa kesulitan untuk memenuhi keinginan tersebut. Maka hadirlah Bank Syariah yang tidak mengenal sistem bunga. Semakin membuat perjalanan bank syariah berkembang. Salah satu peran bank bertindak sebagai pedagang (akad jual beli) melalui akad murabahah. Berbeda dengan penyertaan modal, akad murabahah merupakan pembiayaan perdagangan dan keuntungannya diperoleh dari mark up.
Beberapa pakar bank menyatakan bahwa 75-90% bank islam menggunakan penerapan atau pembiayaan murabahah (akad jual beli). Hal ini terjadi karena menggunakan mark up sebagai keuntungan. Menurut Tariqullah Khan, pembiayaan berbasis mark up ini mempunyai posisi lebih unggul (adventages) karena prinsip mark up dalam banyak hal lebih konsisten.
B.    Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang di dalam makalah ini adalah :
1.    Pengertian murabahah
2.    Landasan  akad murabahah
3.    Rukun dan syarat akad murabahah
4.    Aplikasi murabahah dalam sistem perbankan islam
5.    Kaidah dalam akad murabahah
 
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Murabahah
    Kata murabahah berasal dari kata ribh yang berarti keuntungan. Keuntungan tersebut berkaitan dengan pemberian ini dapat dilakukan dalam dua bentuk, yaitu keuntungan boleh didasarkan pada presentasi harga dan keuntungan berdasarkan jumlah harga misalnya 10 % atau 20%.  Murabahah dalam bahasa inggris sering disebut dengan cost plus sales esensinya adalah akad jual beli dimana penjual dan pembeli menyepakati untuk harga barang yang terdiri harga pokok dari penjual dan ditambah dengan tingkat keuntungan yang disepakati.
    Bay’ Al-Murabahah merupakan salah satu bentuk jual beli amanah yang dikenal dalam syariat islam, karena penjual disyaratkan melakukan kontrak terlebih dahulu dengan menyatakan harga barang yang akan dibeli. Dalam wacana fiqh muamalah, beberapa ulama berpendapat mengenai Murabahah. Menurut imam Syafi’I murabahah itu,” jika seseorang menunjukkan komoditas kepada seseorang mengatakan, “kamu beli untukku, aku akan memberimu keuntungan begini begini”, kemudian orang itu membelinya, maka transaksi itu sah.”  Menurut Udovitch, murabahah adalah bentuk penjualan komisi, dimana pembeli yang biasanya tidak mampu memperoleh komoditas tersebut memerlukan perkecualiaan melalui seorang perantara, atau tidak ingin mengalami kesulitannya, karena ia mencari jasa perantara tersebut.  Menurut perbankan Islam, murabahah merupakan pembiayaan perdagangan didalam perbankan islam maksudnya adalah bank sebagai pedagang yaitu membeli barang yang dibutuhkan nasabah. Lalu menurut Ibnu Qudamah mendefinisikan “murabahah adalah menjual dengan harga asal ditambah dengan margin keuntungan yang telah disepakati”.
    Dari berbagai pendapat tersebut menurut penulis murabahah merupakan  salah satu konsep islam dalam melakukan perjanjian jual beli.Bukan jual beli yang biasa tetapi jual beli dengan harga modal ditambah keuntungan. Konsep ini harus tunduk pada kaidah dan hukum umum jual beli yang berlaku dalam muamalah islamiyah. Murabahah termasuk pembiayaan perdagangan dalam perbankan islam.
B.    Landasan
Ayat- ayat Alquran yang dijadikan rujukan dasar akad transaksi al-Murabahah adalah :

“Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu makan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku suka sama suka diantara kamu”

Sedangkan hadis-hadis Rasulullah yang dapat dijadikan rujukan dasar akad transaksi al-Murabahah adalah
Hadis dari Suhaib ar-Rumi r.a bahwa Rasul saw bersabda :” Tiga hal yang didalamnya terdapat keberkahan , yaitu jual beli secara tangguh, muqaradhah (mudharabah) dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah bukan untuk dijual”. Ibnu Majjah
“Dari Rafaah bin Rafie r.a bahwa Rasulullah saw. Pernah ditanya pekerjaan apakah yang paling mulia, Rasulullah saw. Menjawab : pekerjaan seseorang dengan tangannya dan setiap jual beli yang mabrur”. (HR. Albazzar, Imam Hakim mengkategorikannya shahih”

“Dari Abu Said al-Hudriyyi bahwa Rasulullah saw. Bersabda : Sesungguhnya jual beli itu harus dilakukan secara suka sama suka”. (HR. Al-Baihaqi, Ibnu Majah dan shahih menurut Ibn Hibban”.

“Pedagang yang jujur dan benar berada disyurga bersama para nabi, siddiqin dan syuhada”. (Imam Tirmizi berkata hadis ini hasan)

Menurut Ijma, umat islam telah berkosensus tentang keabsahan jual beli karena manusia sebagai anggota masyarakat selalu membutuhkan apa yang dihasilkan dan dimiliki orang lain. Oleh karena itu jual beli adalah salah satu jalan untuk mendapatkannya secara sah. Dengan demikian maka mudahlah bagi setiap individu untuk memenuhi kebutuhannya.
C.    Rukun  dan Syarat Transaksi Murabahah
Murabahah mempunyai rukun dan syarat yang harus dipenuhi sehingga murabahah tersebut menjadi sah menurut syara’. Sebagaimana jual beli, di dalam murabahah terkait rukun dan syarat yang sama. Jumhur ulama menyatakan bahwa rukun jual beli itu ada empat, yaitu :
1.    Ada orang yang berakad atau al-muta’aqidain (penjual dan pembeli)
Orang yang berakad adalah penjual dan pembeli. Penjual dalam transaksi murabahah adalah bank. Bank melakukan pembiayaan  barang tersebut yang telah di minta oleh pembeli (nasabah) melalui pemasok barang. Tetapi bank bukan seorang pedagang barang melainkan sebagai fasilitator keuangan kepada pembeli. Sedangkan pembeli merupakan orang yang membeli barang dari penjual. Pembeli dalam transaksi murabahah adalah nasabah. Nasabah yang menginginkan barang tersebut kemudian meminta pembiayaan kepada bank.
Para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa orang yang melakukan akad harus memenuhi syarat. Adapun syarat-syarat tersebut adalah :
•    Berakal, artinya orang tersebut sudah baligh. Menurut jumhur ulama apabila orang yang berakad itu masih mumayyiz, maka jual beli tidak sah.
•    Orang yang melakukan akad adalah orang yang berbeda. Artinya, seseorang tidak dapat bertindak dalam waktu yang bersamaan sebagai penjual sekaligus pembeli. Misalnya Ahmad menjual sekaligus barangnya sendiri. Jual beli seperti ini dianggap tidak sah
2.    Ada shighat (lafal ijab dan qabul)
Para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa unsur utama dari transaksi jual beli adalah kerelaan kedua belah pihak. Kerelaan kedua belah pihak dapat dilihat dari ijab dan qabul yang dilangsungkan. Menurut mereka, jab qabul berarti adanya kesepakatan dan perjanjian antara pihak yang terkait. Syarat sahnya adalah adanya keridhaan kedua pihak artinya masing-masing pihak tidak ada yang menzhalimi dan terzhalimi. Keberadaan barang yang bisa diserahterimakan, tidak menimpakan dharar kepada penjual, barang dan harganya diketahui dengan jelas sehingga menghalangi adanya perselisihan, dan akad itu kosong dari syarat yang fasid.
3.    Ada barang yang dibeli
Barang yang dibeli mempunyai syarat seperti harta itu ada, bisa ditentukan nilainya, dimiliki zatnya, bisa diserahkan pada saat akad, dimiliki oleh penjual pada saat jual beli dan barang itu memiliki nilai serta tidak ada hak orang lain didalam barang itu.
D.    Aplikasi Murabahah dalam Sistem Perbankan Islam
Bay’ Al-Murabahah diaplikasikan dalam bentuk pesanan beli antara nasabah dengan bank. Maksudnya adalah misalnya seorang nasabah bersepakat membeli sebuah barang tertentu dari bank islam. Kemudian bank akan menentukan barang yang dijual dan biaya. Setelah itu bank membeli barang yang dipesan dan dijual kepada nasabah dengan harga yang ditambah dengan keuntungan (harus kesepakatan antara nasabah dan bank). Bay’ Al-Murabahah dapat dilakukan antara penjual dan pembeli secara langsung atau melalui pesanan. Akan tetapi dalam seperti ini penjual boleh meminta uang tanda jadi ketika terjadinya ijab qabul. Untuk itu penjual meminta jaminan (sejumlah uang tertentu) pada pembeli agar penjual tidak dirugikan. Hal ini berfungsi sebagai jaminan agar penjual tidak merugi dan sekaligus juga menunjukkan keseriusan pembeli. Apabila uang tanda jadi lebih kecil berbanding kerusakan, maka penjual boleh meminta kekurangannya.
Berkaitan dengan jaminan ketika melakukan hutang, maka Allah telah menetapkan dalam Alquran surat Al-Baqarah ayat 283, sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya bahwa mereka yang berhutang untuk masa yang ditentukan. Sedangkan juru tulis tidak ada, maka hendaklah diadakan jaminan atau agunan. Tetapi sekiranya mereka saling percaya,maka yang berhutang hendaklah menyempurnakan janjinya untuk membayar.
Jadi ayat tersebut tidak menutup kemungkinan untuk digunakan dalam menetapkan jaminan terhadap bay’ al-murabahah. Hal ini bertujuan untuk menjamin kemaslahatan bagi kedua pihak. Supaya tidak terjadi keingkaran dalam jual beli.   
Bank-bank islam mengambil murabahah untuk memberikan pembiayaan jangka pendek kepada kliennya untuk membeli barang walaupun klien tersebut mungkin tidak memiliki uang tunai untuk membayar. Murabahah, sebagaimana dalam perbankan islam, ditemukan terutama berdasaran dua unsur yaitu, harga membeli dan biaya yang terkait dan kesepakatan berdasarkan mark-up (keuntungan).
Dalam transaksi murabahah, bank bertindak sebagai pedagang jasa keuangan yang memberikan fasilitas pembiayaan murabahah. Transaksi murabahah, sekalipun menyangkut jual beli barang tetapi pada hakikatnya adalah transaksi pembiayaan. Hanya dengan diciptakannya hubungan-hubungan hukum dalam satu dokumen perjanjian antara pihak-pihak (3 pihak) dalam transaksi murabahah, fungsi bank sebagai lembaga pembiayaan dapat terjaga dan tidak beralih fungsi sebagai pedagang barang. Dalam transaksi murabahah harus dimungkinkan terjalinnya sekaligus hubungan-hubungan hukum sebagai berikut :
1.    hubungan hukum antara bank dan pemasok barang
2.    hubungan hukum antara bank dan nasabah pembeli barang
3.    hubungan hukum antara nasabah pembeli barang dan pemasok barang
Bank-bank islam pada umumnya menggunakan murabahah sebagai metode utama pembiayaan yang merupakan hampir 75 % dari asetnya. Prosentase ini secara kasar benar bagi bank-bank islam dan juga sistem- sistem perbankan islam di Pakistan dan Iran. Pada awal 1984, di Pakistan, keuangan jenis murabahah berjumlah hampir 80 % dari seluruh keuangan dalam investasi deposito PLS (Profit Lost Sharing). Sedangkan dalam kasus Bank Islam Dubai, Bank islam sektor swasta paling awal, keuangan murabahah berjumlah 82 % dari seluruh keuangan untuk tahun 1989.
Beberapa alasan diberikan popularitas murabahah dalam pelaksanaan investasi perbankan islam adalah :
•    Murabahah adalah mekanisme penanaman modal jangka pendek dan dibandingkan dengan pembagian PLS (Profit Lost Sharing).
•    Mark-up dalam murabahah dapat ditetapkan dengan cara yang menjamin bahwa mampu mengembalikan dibandingkan dengan bank-bank yang berbasis bunga dimana bank sangat kompetitif.
•    Murabahah menghindari ketidakpastian yang dilekatkan dengan perolehan usaha berdasarkan sistem PLS (Profit Lost Sharing).
•    Murabahah tidak mengizinkan bank islam untuk turut campur dalam manajemen bisnis karena bank bukanlah partner dengan klien tetapi hubungan mereka sebagai gantinya, berdasarkan murabahah adalah hubungan seorang kreditur dengan seorang debitur.
Murabahah banyak digunakan sebagai pembiayaan di perbankan syariah. Selain popularitasnya yang baik murabahah memiliki kelebihan. Adapun kelebihan akad murabahah adalah :
•    Pembeli mengetahui semua biaya yang semestinya serta mengetahui harga pokok barang dan keuntungan atau mark-up yang diartikan sebagai prosentase harga keseluruhan dan ditambah biaya-biayanya.
•    Subyek penjualan adalah barang atau komoditas.
•    Subyek penjualan hendaknya memiliki penjual dan dimiliki olehnya dan ia harus mampu mengirimnya kepada pembeli
•    Pembayaran dapat dilakukan dengan tunai dan boleh juga dengan angsuran. Tetapi banyak nasabah yang memilih angsuran atau mencicil. Karena itu dapat membantu nasabah yang merasa kurang mampu membayar lunas.
E.    Kaidah dan hal yang berhubungan dengan murabahah
Adapun kaidah atau aturan yang harus diperhatikan dalam transaksi murabahah adalah sebagai berikut :
•    Ia harus digunakan untuk barang-barang yang halal
•    Biaya aktual dari barang yang akan diperjualbelikan harus diketahui oleh pembeli
•    Harus ada kesepakatan kedua belah pihak (pembeli dan penjual) atau harga jual yang termasuk didalamnya harga pokok penjualan dan margin keuntungan
•    Jika ada perselisihan atas harga pokok penjualan, pembeli mempunyai hak untuk menghentikan dan membatalkan perjanjian.
•    Jika barang yang akan dijual tersebut dibeli dari pihak ketiga, maka perjanjian jual beli yang dengan pihak pertama tersebut harus sah menurut syariat islam.
•    Murabahah memegang kedudukan kunci nomor dua setelah prinsip bagi hasil dalam bank islam, ia dapat diterapkan dalam pembiayaan pengadaan barang dan pembiayaan pengeluaran Letter of Credit (L/C)
Untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan kedua belah pihak harus mematuhi ketentuan-ketentuan yang telah disepakati bersama. Bank harus mendatangkan barang yang benar-benar memenuhi pesanan nasabah baik jenis, kualitas atau sifat-sifat lainnya. Sedangkan Pemesan, apabila barang telah memenuhi ketentuan dan ia menolak untuk menebusnya maka bank berhak untuk menuntutnya secara hukum.
Berkenaan dengan pelaksanaan bay’ al-murabahah ini pihak bank perlu memberi penjelasan kepada nasabah dengan membuat perincian berapa harga barang yang dibeli dan keuntungan yang mesti diterima oleh pihak bank. Perlunya rincian ini adalah supaya terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan antara pihak bankdan nasabah. Jangan hendaknya masyarakat menilai bahwa keuntungan yang diperoleh bank pertahun melalui murabahah hanya sekedar mengganti istilah bunga dengan margin keuntungan.
 
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa akad murabahah merupakan suatu perjanjian yang didasarkan pada kepercayaan antara nasabah dan bank. Nasabah bertindak sebagai pembeli sedangkan bank sebagai fasilitator dalam pembelian barang tersebut. Bank memberikan pembiayaan untuk mempermudah nasabah. Nasabah juga dengan mudah mencicil kepada bank sebesar biaya yang telah disepakati bersama. Biaya yang disepakati berupa harga modal dan ditambah dengan keuntungan yang akan diperoleh bank.
Murabahah akan sangat berguna sekali bagi seseorang yang membutuhkan barang secara mendesak tetapi kekurangan dana pada saat itu kekurangan liquiditas. Ia meminta pada bank agar membiayai pembelian barang tersebut dan bersedia menebusnya pada saat diterima. Selain itu murabahah hampir 70 % menguasai pembiayaan yang ada dalam perbankan islam.
B.    Saran
Penulis berharap makalah ini dapat dijadikan media pembelajaran bagi mahasiswa STAIN jurusan Syariah prodi Ekonomi Islam. Sehingga menjadi bahan pertimbangan untuk kedepannya.  
 
Daftar Pustaka

Abdullah Saeed. Bank Islam dan Bunga. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. 2003
Karnaen A Perwataatmadja Hendri Tanjung, Bank Syariah (Teori, Praktik dan Peranannya). Senayan Abadi. Jakarta PT. 2007
Muh. Syafe’I Antonio. Bank Syariah dari Teori ke Praktik. Gema Insani Press. Jakarta. 2001
Muhammad. Sistem dan Prosedur Operasional Bank Syariah. UII Press. Yogyakarta. 2000
Sutan Remy Sjahdeini. Perbankan Islam dan Kedudukannya dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia. Grafiti. Jakarta. 1999
Dra. Hulwati, M.Hum.,PhD. Ekonomi Islam Teori dan Praktiknya dalam Perdagangan Obligasi Syariah di Pasar Modal Indonesia dan Malaysia. Ciputat Press Group. Ciputat. 2009
Muhaimin Iqbal. Dinar Sebagai Solusi. Gema Insani. Jakarta. 2008